Nasional

Presiden Jokowi: Islam Radikal Bukan Islam Bangsa Indonesia

Presiden Jokowi foto bersama sejumlah ulama peserta Halaqah Nasional Alim Ulama di Jakarta. (foto: istimewa)

Presiden Jokowi foto bersama sejumlah ulama peserta Halaqah Nasional Alim Ulama di Jakarta. (foto: istimewa)

Jakarta (Kemenag) --- Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Islam radikal bukan Islam Bangsa Indonesia. Pesan ini disampaikan Presiden saat memberikan sambutan pada Pembukaan Halaqah Nasional Alim Ulama di Jakarta.

Tiba sekitar pukul 19.20 WIB, Presiden Joko Widodo didampingi oleh Menag Lukman Hakim Saifuddin. Halaqah yang dihadiri ratusan ulama ini diselenggarakan oleh Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tampak hadir juga Rais Am yang juga Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin, Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siradj, Tuan Guru Turmudzi, dan KH Maimun Zubair.

Dikutip dari rilis Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, dalam sambutannya Presiden Jokowi mengatakan bahwa banyak pemimpin negara yang mengagumi kemampuan Indonesia mengelola kerukunan dan keberagaman. Kekaguman itu muncul karena kemampuan umat Islam Indonesia dalam menerapkan Islam yang rahmatan lil alamin.

Semua itu dapat terwujud, menurut Presiden karena peran alim ulama yang terus berperan aktif dalam memberikan tuntunan kepada seluruh ummat. "Tuntunan untuk mewujudkan Islam yang Wasathiyah, yang moderat, yang santun dan bukan Islam yang keras, bukan Islam yang radikal. Islam radikal bukan Islamnya Majelis Ulama Indonesia. Islam yang radikal bukan Islamnya bangsa Indonesia," ujar Presiden di Jakarta, Kamis (13/07).

Presiden berharap alim ulama juga terus berperan aktif menuntun ummat mempererat tali silaturahim dan kerukunan, bukan hanya kerukunan di antara umat Islam sendiri. "Tapi juga Ukhuwah Wathaniyah, antar anak-anak bangsa dalam semangat persatuan," katanya.

(Presiden Jokowi bercengkerama dengan peserta Halaqah Nasional Alim Ulama di Jakarta/foto: istimewa)

Menurut Presiden, sudah menjadi kodrat bangsa Indonesia untuk terus mengelola keberagaman, kemajemukan dan ke-Bhinneka-an. Dalam konteks itu, Indonesia beruntung memiliki Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa.

“Pancasila menjadi panduan bersama dalam menjalani langkah, dalam menempuh perjalanan sejarah sebagai sebuah bangsa yang majemuk, bangsa yang beragam," ucap Presiden.

Ditegaskan Presiden, Pancasila dengan Islam bukan untuk dipertentangkan, bukan pula untuk dipisahkan. Pancasila itu dasar negara. Islam itu akidah yang harus dipedomani.

"Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Pancasila mengakui dan menghormati nilai-nilai ketuhanan, sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Pancasila berdampingan dengan Islam dan berdampingan pula dengan agama-agama lain yang dianut oleh rakyat Indonesia," kata Presiden.

Kepada umat Islam Indonesia, Presiden mengajak untuk kembali pada semangat ta’awun, bekerja-sama, dan saling tolong menolong dalam semua aspek kehidupan. Semangat ini penting, kata Presiden, untuk mewujudkan Indonesia yang maju, Indonesia yang berdaulat, Indonesia yang bermartabat, berkepribadian, adil dan makmur.

"Kita harus pegang komitmen kebangsaan kita. Tidak boleh lagi di antara kita ada yang mempunyai agenda lain, ada yang memiliki agenda politik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan untuk meruntuhkan NKRI yang berbhinneka tunggal ika. Tidak boleh lagi di antara kita, ada yang memiliki agenda mengganti Negara kita dengan sistem pemerintahan dan kenegaraan yang bertentangan dengan Pancasila," kata Presiden.

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua