Nasional

Potret Madrasah di Ngawi, Fasilitas Terbatas Namun Diminati

Siswi MTsN 5 Paron, Ngawi belajar Tahfidz di ruang kelas dengan atap bocor (Foto:Arif)

Siswi MTsN 5 Paron, Ngawi belajar Tahfidz di ruang kelas dengan atap bocor (Foto:Arif)

Ngawi (Kemenag) --- Lembaga Pendidikan Madrasah binaan Kementerian Agama terus berkembang. Minat masyarakat menyekelohkan anaknya di madrasah juga terus meningkat. Fenomena ini kentara dalam lima tahun terakhir, salah satunya di Kabupaten Ngawi.

Animo masyarakat di Kabupaten yang berada di bagian barat Provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah untuk mendaftarkan anaknya di madrasah terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepala Kantor Kementerian Agama Ngawi Zaenal Arifin saat ditemui di kantornya, Kamis (03/05), mengatakan hal ini tidak terlepas dari dikembangkannya program tahfidz (hafalan Alquran) di madrasah. Bahkan, karena keterbatasan sarana prasarana, sejumlah madrasah terpaksa tidak bisa menerima semua calon peserta didik yang mendaftar.

Menurutnya, di Ngawi terdapat 28 madrasah negeri, terdiri dari empat Madrasah Aliyah Negeri (MAN), 10 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), dan 14 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN). Secara umum, kondisi fisik madrasah negeri di Ngawi belum bisa disebut ideal. Sejumlah bangunan madrasah negeri sudah tua. Bahkan, beberapa di antaranya masih sangat terbatas dan sangat jauh jika dibandingkan dengan sekolah negeri.

Meski demikian, lanjut Arifin, madrasah di Ngawi tetap diminati. Sementara peminat sekolah negeri menurun hingga ada lembaga yang harus di-merger karena minimnya pendaftar.

Suasana ruang kelas MIN 9 Jogorogo (Foto:Istimewa)

Keterbatasan sarana prasarana itu salah satunya nampak di MIN 9 Jogorogo. Puluhan siswa kelas III dan IV madrasah yang berada di lereng Gunung Lawu ini belajar di ruang kelas dengan dinding papan dan sebagian bambu. Belum semua bangunan permanen dimiliki madrasah ini sehingga tidak semua siswanya belajar di ruang kelas yang representatif.

Menurut Kepala MIN 9 Jogorogo (Ngrayudan), Slamet Daroini, masih ada tiga ruang belajar yang berdinding papan dan bambu. Ukurannya juga hanya 3 x 3 meter dengan alas tanah.

"Bila hujan turun, genangan air masuk ke kelas dan menganggu aktivitas belajar siswa. Ya, ruang kelas beralas tanah dengan dinding papan dan bambu ini merupakan swadaya masyarakat yang ingin anaknya sekolah di MIN 9 Jogorogo. Bangunan ini didirikan pada 2016 silam," ujarnya.

"Sekolah kami selalu diminati setiap tahunnya. Tahun ini saja kami menolak sekitar 30 siswa baru lantaran keterbatasan sarana dan prasarana belajar mengajar," sambungnya.

Ruang kelas MIN 9 Jogorogo (Foto:Istimewa)

Kondisi serupa juga tampak di MTsN Paron. Dari depan, bangunan yang berada tidak jauh dari Tol Ngawi itu tampak berdiri kokoh. Namun, setelah memasuki kawasan madrasah, tampak hampir seluruh ruang kelas dalam kondisi memprihatinkan. Plafon ruangan kelas terlihat rapuh dan sebagian sudah bolong. Bila musim hujan, sebagian siswa terpaksa pindah ke kelas lain karena atap bocor.

Kepala MTsN Paron, Mustafid, mengatakan kondisi ini sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu. "Kami berharap ada perhatian Kemenag terkait sarana dan prasarana di MTsN Paron yang dari hari ke hari kian memprihatinkan," ujarnya.

Meski minim fasilitas, MTsN Paron menjadi salah satu madrasah favorit di Ngawi. Banyak prestasi diukir siswa madrasah ini, antara lain: juara kaligrafi tingkat nasional di Aceh. Madrasah ini juga harus menolak siswa baru setiap tahunnya karena keterbatasan ruang belajar.

Ruang kelas di beranda mushola MIN Nggrongi (Foto:Istimewa)

Hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari MTsN Paron, kondisi yang tidak jauh berbeda tampak di MIN Nggrongi, Kecamatan Ngawi. Madrasah yang berdiri di bilangan Jalan Harjono itu sebagian bangunannya tidak memadai untuk menampung siswa belajar. Pihak madrasah akhirnya memanfaatkan beranda samping mushola untuk ruang belajar. Padahal, kondisinya riuh karena berdekatan dengan tempat belajar anak-anak Raudhatul Athfal.

Kepala Kankemenag Ngawi, Zaenal Arifin mengakui bahwa MIN 9 Jogorogo, MTsN Paron, dan MIN Nggrongi dan sejumlah madrasah negeri lainnya di Ngawi memang memerlukan perhatian serius. Apalagi, ketiganya termasuk pilot project pengembangan program tahfidz di Kabupaten Ngawi.

"Kami sudah mengusulkan agar sejumlah madrasah di Ngawi mendapat perhatian dan bantuan pembangunan, renovasi dan perbaikan kepada Kemenag Pusat melalui Kanwil Kemenag Jatim," ujarnya.

Madrasah dengan kondisi seperti ini tentu membutuhkan afirmasi dari pemangku kebijakan. Terlebih, arahan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam Rakornas Pendidikan Islam pada 14 Maret lalu sangat jelas, bahwa Ditjen Pendis dan jajarannya agar memetakan kondisi madrasah.

“Saya meminta Ditjen Pendis dan Kankamenag Kab/Kota di Indonesai untuk memetakan dan maping kondisi madasarah. Semua provinsi, kabupaten/kota harus melaporkan kondisi terkini keberadaan madrasah di daerah masing-masing. Apalagi kalau ada madrasah yang sangat tidak layak,” tegasnya saat itu.

Apalagi, tahun ini Kemenag telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp2,2triliun dari skema pembiayaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) untuk pembangunan infrastruktur, dan sebagiannya atau sekitar Rp201,43 miliar diperuntukan bagi Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Madrasah.

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua