Nasional

Perlu Regulasi Kehidupan Beragama

Jakarta (Pinmas)--Kebebasan beragama dan berkeyakinan perlu diatur dengan regulasi. Sebab, jika tidak diatur berpotensi memicu konflik horizontal dan benturan antarelemen yang berbeda. Hal tersebut ditegaskan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Pendidikan Pelatihan (Diklat) Kementerian Agama, Abdul Djamil, di Jakarta, Selasa (25/1). Penegasan itu disampaikan untuk menyikapi opini sebagian kalangan yang menyebut undang-undang (UU) yang mengatur kehidupan beragama merupakan bentuk pengekangan hak asasi manusia (HAM)."Bayangkan kalau tidak ada UU, orang bebas mengekspresikan paham keagamaan yang bisa memicu konflik," katanya. Djamil menjelaskan, keberadaan UU tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dan menghindari konflik horizontal. Apalagi, konvensi HAM di Indonesia yang telah diratifikasi menyebutkan, sekalipun warga negara memperoleh hak dan kebebasan beragama, tetapi kebebasan itu tetap dibatasi oleh UU. Dalam hal ini, tanpa menghilangkan prinsip bahwa para pemeluk agama harus dihargai dan dihormati. "Sifat UU tidak membatasi dan tidak mengekang, tetapi mengatur." Karena itu, lanjut Djamil, UU yang meregulasi dan mengatur kehidupan umat beragama di Indonesia tetap diperlukan. Dengan UU itu diharapkan, keharmonisan dan ketertiban antarumat seagama dan umat beragama akan terwujud. Persoalannya, sejauh mana komitmen semua pihak, baik masyarakat maupun aparat, dapat bersama-sama melaksanakan UU yang ada. Jangan dibenturkan Wakil Ketua Komnas HAM, Nurkholis, mengatakan, pada dasarnya antara agama dan HAM tidak perlu dibenturkan. Dalam konsepsi HAM, beragama adalah hak warga negara yang harus dilindungi. Dalam konteks Indonesia, kata Nurkholis, tantangan persoalan HAM lebih rumit dibandingkan di negara lainnya. Berdasarkan pengalaman selama ini, konsepsi HAM di Tanah Air memiliki karakteristik tersendiri. Karena itu, menurut dia, negara berkewajiban menjamin kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan setiap warganya. Menyikapi adanya perbedaan aliran di dalam agama tertentu, Nurkholis berpendapat, negara wajib mendorong proses dialog dan tidak menyalahkan salah satu pihak."Perlu proses dialog, mengarahkan, dan mencegah terjadinya kekerasan." Mengenai regulasi kehidupan beragama, Nurkholis mengatakan, regulasi itu harus memerhatikan dampak yang bakal muncul akibat regulasi itu seperti munculnya anarkisme dan main hakim sendiri. Untuk meminimalisasi hal itu, pemerintah dituntut memfasilitasi dialog agar terjadi kesepakatan antarpihak yang berbeda. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi pelanggaran HAM lainnya karena tidak memberikan ruang dialog bagi elemen yang berbeda. Nurkholis mengakui, dialog bukan upaya mudah dan memerlukan proses yang relatif lama. Namun, dialog adalah satu-satunya cara menyelesaikan masalah sebab keyakinan adalah masalah privasi yang tidak bisa dintervensi. "Sayangnya pemerintah lemah memahami persoalan ini, karena itu harus segera mengambil inisiatif." (rep/nashih)

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua