Nasional

Pengukuhuan Profesor Riset: Cegah Radikalisme Lewat Pendidikan Toleransi

Jakarta(Pinmas) - Salah satu solusi yang mampu mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme adalah pendidikan, terutama terkait pengembangan budaya toleransi. Demikian dikemukakan Imam Tholkhah dalam orasi ilmiah bertema Pengembangan Budaya Toleransi Melalui Pendidikan Islam di Sekolah untuk Mencegah Konflik Keagamaan, di Jakarta, Kamis (20/12).

"Sekolah bisa menjadi kawah candradimuka bagi penyiapan generasi bangsa yang memiliki komitmen terhadap budaya toleransi. Sebaliknya, sarana edukasi itu dapat dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menghancurkan kebinekaan kita dengan baju agama atau simbol ideologis lainnya," ujar Kepala Pulitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan ini. Dalam kesempatan tersebut, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Lukman Hakim, mengukuhkan Dr Imam Tholkhah sebagai profesor riset dalam bidang agama dan kemasyarakatan (filosofi agama). Pengukuhan yang dihadiri Sekjen Kemenag Bahrul Hayat yang mewakili Menteri Agama Suryadharma Ali, berlangsung di Auditorium Kemenag, Jl MH Thamrin No 6, Jakarta, Kamis (20/12).

"Yang mengejutkan saya adalah hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa potensi radikalisme agama di sekolah ternyata besar. Dari 500 guru agama Islam di Jawa yang diteliti, 60 persen berpotensi intoleran, demikian kesimpulan penelitian itu. Meski intoleransi tak selalu identik atau paralel dengan radikalisme, tetapi sikap dan pemahaman itu dapat menjadi embrio radikalisme," katanya. Menurut dia, lembaga-lembaga pendidikan, terutama yang berbasis agama, harus mampu mengembangkan pemahaman dan sikap toleransi peserta didiknya. "Bahwa apa yang kita perjuangkan sebagai suatu kebenaran, harus diletakkan sebagai bagian dari kebenaran yang juga dimiliki kelompok lain, dan sikap toleran terhadap agama merupakan bagian dari prinsip dan amal ibadah yang sangat dianjurkan," ucapnya.

Solusi Konflik Selain Kepala LIPI, juga hadir Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Prof Machasin, mantan Menteri Sekretaris Negara era Presiden Gus Dur Djohan Effendi, para pejabat eselon I dan II Kemenag, dan pejabat fungsional peneliti dan widyaiswara. "Sebagai bangsa berpenduduk besar dengan ribuan pulau, kaya suku, bahasa, tradisi, dan agama, menjadikan negeri ini bagai zamrud khatulistiwa," ujar Sekjen Kemenag Bahrul Hayat. Tetapi, ucap dia, karena kondisi dan posisi itu pula, RI menjadi sangat rentan terhadap disharmonisasi sosial yang menyimpan berbagai potensi konflik dan perpecahan yang mengancam keutuhan NKRI. "Kerentanan ini tak sepenuhnya karena dorongan faktor endogen atau bawaan sosial bangsa ini.

Tetapi dipengaruhi pula oleh faktor eksogen, berupa ide, gagasan, pemikiran, aksi dan gerakan, bahkan ideologi dari luar," katanya. Karena itu, belakangan muncul sejumlah organisasi gerakan perubahan di Indonesia yang merupakan "anak ideologi" dari gerakan yang berkembang di luar negeri. "Pasca-Orde Baru, bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan baru dan problem besar yang tak pernah diprediksi sebelumnya. Serentetan kerusuhan dan konflik sosial seperti di Ambon, Poso, dan di sejumlah daerah dalam skala lebih kecil, telah membawa negeri ini bagai telur di ujung tanduk," ucapnya.

Menurut Sekjen, fenomena teror dan bom bunuh diri secara berantai dalam beberapa tahun terakhir, menjadi tren aksi dan telah menimbulkan trauma sosial yang mendalam. "Radikalisme agama juga telah memasuki lembaga pendidikan kita. Fakta ini telah dibuktikan melalui penelitian yang menemukan bahwa radikalisme agama telah menyusup ke sekolah-sekolah umum. Pemahaman keagamaan siswa-siswi yang masih awam, menurut penelitian ini, menjadi lahan subur persemaian paham radikal. Karena itulah, upaya antisipasi melalui pendidikan toleransi adalah salah satu solusi mencegah terorisme," ucapnya.(Yudhiarma)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua