Nasional

Mengedepankan KEINDONESIAAN (Catatan DIALOG Menag dengan AJI dan Jurnalis Asing)

Jakarta (Pinmas) —- Keindonesiaan harus lebih dikedepankan dalam menjalani kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Islam memang agama mayoritas, tapi kami di Indonesia, sejak lama, melalui tokoh-tokoh Islam bangsa, terus menggelorakan semangat keindonesiaan, keislaman, dan kemodernan.

“Kita selalu mengkaitkan antara Islam, Indonesia, dan kemodernan. Kita yakinkan umat Islam Indonesia bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan orang Islam yang sedang tinggal di Indonesia. Bagaimanapun, keindonesian kita itulah yang harus lebih dikedepankan dalam menjalani kehidupan keagamaan kita, termasuk kehidupan keislaman kita, dengan tetap menyerap nilai-nilai modernitas,” demikian pesan yang ditegaskan dan digarisbawahi secara khusus oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat berdialog dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan beberapa jurnalis asing yang tergabung dalam East-West Center di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (02/09).

Dalam rangka “2014 Senior Journalists Seminar: Bridging Gaps Between The U.S. And The Muslim World,” sejumlah jurnalis asing berkunjung ke beberapa Negara muslim, termasuk Indonesia, untuk lebih mengenal kehidupan umat Muslim di negara-negara tersebut.

Rombongan ini terdiri dari empat belas jurnalis yang berasal dari beberapa Negara, yaitu: Syeeda Gulshan Ferdous Jana (Editor Somewhere In Blog, Dhaka) dari Bangladesh; Vijay Joshi (Asistant Asia Pacific Editor, Associated Press, Bangkok) dari India; Heru Hendratmoko (Editor in Chief KBR dan PortalKBR.com, Jakarta) dari Indonesia; Saeed Kamali Dehghan (Foreign Reporter The Guardian, London) dari Iran; Zeyad Nihad Al Zubaidi (Senior Correspondent Al Hurra Television, Baghdad) Iraq; Darshini Kandasamy (Assistant News Editor Malaysiakini, Kuala Lumpur) dari Malaysia; Muhammad Yasir Pirzada (Columnist/News Analyst, Daily Jang, Lahore) dari Pakistan; Khaldoun Abukhattab (Internastional News Editor Alhayat Aljadida Newspaper, Albireh) dari Palestina; dan Emilia Amin (Senior Broadcast Journalist, Media Corp.Pte.Ltd) dari Singapura.

Ikut juga, Jurnalis dari Amerika: Emily Bobrow (U.S. Online Editor The Economist, Washington D.C.); Kevin Eckstrom (Editor in Chief, Religion News Service Washington D.C.); Jaweed Kaleem (Religion Reporter, The Huffington Post, New York City); dan Guy Taylor (National Security Reporter, The Washington Times, Washington D.C.). Selaku coordinator program, Liz A. Dorn dari Honolulu, Hawai.

Kepada mereka, Menag yang didampingi Sekjen Nur Syam, Pgs, Kepala Balitbang-Diklat Machasin, Kepala Pusat Informasi dan Humas Zubaidi, serta sejumlah pejabat Eselon II lainnya, menyampaikan kondisi kehidupan umat beragama di Indonesia.

Bukan Negara Islam, Bukan Sekuler

Paparan Menag diawali dengan penegasan bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun bukan negara Islam. Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan secara tegas antara urusan Negara dan agama.

Menjelaskan ini, Menag mengajak para jurnalis untuk melihat Indonesia dari sejarah berdirinya. Menurutnya, sejak ratusan tahun lalu, masuknya agama-agama di Indonesia memiliki kekhususan.

“Sebagaimana mungkin juga masyarakat Negara lain, masyarakat Indonesia pada awalnya banyak menganut paham animisme dan dinamisme; sebuah paham yang mempercayai bahwa benda-benda tertentu diyakini memiliki kekuatan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat pada saat itu,” kata Menag.

Dikatakan olehnya, keyakinan dinamisme maupun animisme adalah keyakinan yang dianut masyarakat yang ketika itu peradabannya masih dalam tahap yang masih dini, awal. Peradaban kemudian semakin baik seiring masuknya agama Hindu, di mana mereka berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan awal di Indonesia, yaitu kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan Pulawarman di Jawa Barat.

“Jadi, Hindu punya pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat Indonesia karena memang sejak awal, Hindu masuk ke Indonesia melalui dua kerajaan itu,” ujarnya.

Sejarah masyarakat Indonesia semakin berwarna dengan masuknya ajaran Buddha yang meninggalkan kisah kehebatan Wangsa Syailendra, kemegahan Candi Borobudur, serta kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Juga tentang toleransi antara pemeluk Hindu-Buddha yang terpotret dalam sebuah bait pada Kitab Sutasoma, karya monumental Empu Tantular yang hidup pada masa kekuasaan Majapahit. “Antara Buddha dan Siwa, meski berbeda, keduanya mengandung kebenaran. Jadi karenanya, antara keduanya meski berbeda, tapi hakikatnya satu juga karena kebenaran itu tidak mendua,” tuturnya.

Masuknya pengaruh China dan Konghucu juga ikut memperkaya warna masyarakat Indonesia, khususnya di Pesisir Utara Pulau Jawa. Banyak bangunan di sana yang sangat kental nuansa, tidak hanya China tapi juga Konghucu. “Bahkan belakangan, ada juga masjid yang meninggalkan ornamen Konghucu,” tuturnya.

Kemudian masuklah Islam yang dibawa oleh para pedagang dan para sufi sehingga memberi corak tersendiri bagi keislaman Indonesia. Para pedagang umumnya memiliki karakter yang selalu ingin menjalin hubungan baik dengan masyarakat. Adapun sufi adalah mereka yang sangat menjunjung tinggi perbedaan-perbedaan selama tujuannya adalah satu, yaitu untuk meningkatkan harkat manusia itu sendiri.

Masuknya Islam ke Indonesia, lanjut Menag, lebih pada esensinya atau substansi ajarannya, bukan pada upaya untuk menyeragamkan syariatnya atau ritual keagamaannya. Karenanya tidak heran jika banyak contoh dalam tradisi Islam Indonesia yang kental dengan tradisi-tradisi Hindu, Buddha, China, Konghucu, dan lainnya.

Sebagai contoh, tradisi mendoakan arwah kerabat atau keluarga yang sudah meninggal dengan upacara 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya. Dikatakan Menag bahwa tradisi semacam itu tidak akan ditemui pada umat Islam bangsa lain selain di Indonesia karena ini sebenarnya tradisi Hindu yang diisi dengan nilai-nilai Islam.

Demikian juga dengan tradisi halal bi halal dalam memperingati Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal dengan cara saling bermaaf-maafan. Hebatnya, tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saja, tapi juga oleh umat non muslim dalam rangka menghormati mereka yang lebaran. “Ini sudah terjadi bahkan sejak ratusan tahun lalu,” kisah Menag.

Keberagamaan Indonesia semakin kaya seiring masuknya pengaruh Katolik dan Kristen pada sekitar abad 15, melalui orang-orang dari negara barat, seperti: Portugis dan Belanda. Demikian dan seterusnya hingga enam agama besar ini ada dan hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia.

“Yang menarik adalah bahwa semua ajaran agama masuk ke Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan, tidak dengan peperangan, dan tidak dengan cara-cara pemaksaan kehendak,” tegas Menag.

Tradisi Kerukunan

Kerukunan antar umat beragama di Indonesia juga diperkuat oleh tradisi hidup rukun masyarakat yang sudah berkembang sejak dulu. Masyarakat Indonesia sangat beragam etnis, budaya, ras, termasuk juga bahasanya. Namun demikian, keragaman itu justru telah menumbuhkan tradisi kerukunan yang sangat baik.

Tradisi Pella Gandong yang berkembang di Maluku, bagian timur Indonesia adalah contohnya. Antar sesama, tetangga, saudara, dan warga masyarakat, meskipun berbeda agama, wajib menjaga kerukunan, hidup bersama, saling membantu, dan saling tolong-menolong, tanpa membedakan agama yang dianutnya.

Selain itu, di Sulawesi Utara ada istilah Torang Basudara. Di Papua ada istilah Satu Tungku Tiga Batu, yang memberi pesan bahwa sebuah tungku harus disangga tiga batu (Kristen, Katolik, dan Islam). Mereka terbiasa hidup bergotong royong dan membuat rumah ibadah secara bersama-sama di antara penganut agama-agama.

“Di Jawa, Sunda, dan belahan manapun, termasuk Sumatera, tradisi gotong royong sangat kuat ada di masyarakat kita jauh sebelum agama-agama itu datang ke nusantara ini,” tegas Menag.

Relasi Agama-Negara

Diskursus Agama-Negara mengemuka jelang Indonesia merdeka. Sebagai Negara merdeka, Indonesia harus menentukan apa yang akan mendasari kehidupan kenegaraannya ke depan. Apa dasar Negara Indonesia? Apakah Islam sebagai agama mayoritas atau yang lain?

Kepada para jurnalis asing itu, Menag menjelaskan bahwa pda saat itu terjadi diskusi yang sangat mendalam tentang apa dasar negara Indonesia. Menurutnya, meski banyak aspirasi yang menghendaki Islam sebagai agama resmi dan dasar Negara Indonesia, tapi karena aspirasi ini tidak mencapai dua pertiga dari total Konstituante yang memang mempunyai kewenangan menentukan dasar negara Indonesia, maka disepakati Pancasila sebagai dasar negara. “Maka akhirnya disepakati bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila,” tegasnya.

“Pancasila adalah lima dasar falsafah hidup bernegara yang sesungguhnya spirit, esensi, dan substansinya dari ajaran Islam. Misalnya (sila) yang pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa; lalu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan seterusnya, sesungguhnya hakikatnya merupakan ajaran Islam,” tambahnya.

Ditegaskan Menag bahwa dengan kearifan para pendiri bangsa, maka perdebatan dalam rangka menentukan apakah Indonesia berdasar Islam atau tidak akhirnya bisa disudahi. Mereka akhirnya bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar yang hakikat dan esensinya adalah ajaran Islam, tapi bisa mengayomi, merangkul, dan melindungi agama-agama selain Islam yang juga dianut oleh bangsa Indonesia.

Relasi antara Negara dengan agama dalam konteks Indonesia sangat spesifik. Negara dan agama mempunyai hubungan kemitraan, simbiosis mutualisme, sekaligus hubungan cek and balances yang saling mengimbangi dan mengontrol.

Menurut Menag, negara dengan agama saling membutuhkan karena negara tidak bisa hidup sendiri tanpa diisi dengan spirit keagamaan yang menjadi jiwa dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai Negara. Agama juga tidak bisa jalan sendiri tanpa kemitraan dari negara karena umat beragama mempunyai potensi semena-sema atas nama kebenaran yang diyakininya untuk menista atau bahkan mendiskriminasi orang lain yang tidak seagama.

“Jadi keduanya ini harus seimbang. Antara Negara dan agama itu ada simbiosis mutualisme yang saling memiliki kebutuhan di antara keduanya,” terangnya.

Mengakhiri paparannya, Menag menggarisbawahi bahwa mayoritas Bangsa Indonesia menganut enam agama, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dalam UU dikatakan bahwa itulah yang dianut mayoritas bangsa Indonesia. Dengan demikian, agama yang juga dianut sebagian masyarakat Indonesia di luar yang enam besar itu, dibiarkan keberadaanya selama tidak menggangu atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Konstitusi Indonesia,UUD 1945, tegas menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan menjalankan ajaran agama yang dipeluknya itu,” tegas Menag.

Lebih Tahu Tentang Indonesia (Dialog)

Para tamu yang hadir pun mengaku terkesan dengan paparan Menag. Vijay Joshi Asistant Asia Pacific Editor, Associated Press, Bangkok yang berasal dari India mengatakan bahwa dirinya sangat terkesan dengan paparan Bapak. “Saya melihat bahwa Indonesia sangat nyaman dengan latar belakang Hindu, Buddha, dan agama lainnya,” katanya.

Senada dengan Vijay, Guy Taylor dari Washinton Time bahkan mengaku heran kepada kenapa dunia hanya menyuarakan Islam ekstrimis, sementara Islam Indonesia yang moderat dan toleran tidak menjadi model?

Secara lebih spesifik, Zeyad Nihad Al Zubaidi, Senior Correspondent Al Hurra Television, Baghdad, Irak, bahkan mengusulkan Indonesia sebagai pemimpin dalam gerakan melawan ekstrimisme. “Kalau dilihat di Indonesia, ada baiknya Indonesia memimpin melawan garis ekstrem,” harapnya.

Sebagai konfirmasi, beberapa pertanyaan pun mereka ajukan. Vijay misalnya, menanyakan apakah ada kelompok yang menolak sejarah tersebut dan ingin kembali kepada Islam yang lebih fundamental? Dan apakah ada kesempatan bagi kelompok tersebut untuk lebih berkuasa?

Tentang ini, Menag menjelaskan bahwa penduduk Indonesia sangat banyak, mencapai 240 juta, dan di antara umat Islam nya pun sangat beragam. Tapi, mayoritas umat Islam di Indonesia sangat moderat dan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan, mereka memahami bahwa inilah bentuk final dari hubungan antara Negara dengan agama di mana Pancasila lah yang menjadi pemersatunya.

“Ormas Islam terbesar, seperti Muhammadiyah, NU, dan lainnya, semuanya sudah mempunyai komitmen bahwa inilah bentuk final Indonesia yang terbaik,” kata Menag.

Namun demikian, Menag mengaku tidak menutup mata dengan fenomena munculnya paham-paham dari luar belakangan terakhir ini. Menag memastikan bahwa dari sisi jumlah sangat kecil. Di era demokrasi, diskursus tentang paham-paham seperti itu dimungkinkan. Tapi ketika paham yang bertentangan dengan Pancasila itu melakukan gerakan-gerakan terencana, itu bisa berhadapan dengan hukum.

Khaldoun Abukhattab, Internasional News Editor Alhayat Aljadida Newspaper, Albireh yang berasal dari Palestina menanyakan kekerasan terhadap masyarakat syiah di Indonesia. Akan hal ini, Menag menegaskan bahwa hubungan Sunni-Syiah di Indonesia sejak dulu sangat baik, tidak ada gejolak dan pertentangan.

Bahwa belakangan di beberapa daerah secara kasuistik muncul konflik, Menag melihat hal itu tidak murni karena perbedaan Sunni-Syiah, tapi juga persoalan politik.

“Kita tahu, Demokrasi di Indonesia terus berjalan. Pemilihan-pemilihan langsung diterapkan di banyak tempat tidak hanya memilih Presiden, legislatif, tapi juga kepala daerah sampai tingkat yang paling bawah. Ini juga menyebabkan rivalitas persaingan antara aktor di daerah semakin tajam sehingga kemudian isu paham keagamaan Sunni-Syiah pun bisa dijadikan isu untuk memperkuat yang satu dan menegasikan yang lain,” paparnya.

“Kantong-kantong Syiah di wilayah Indnesia ada di beberapa tempat, seperti di Bangil Jawa Timur, Jawa Tengah, sebagian di Jawa Barat, Sumatera Barat; mereka semuanya hidup damai,” tambahnya.

“Lantas bagaimana dengan agama yang tidak diwakili dalam hukum Indonesia seperti Yahudi?” tanya salah satu jurnalis lainnya. Tentang ini, Menag menegaskan bahwa apapun agama yang dianut oleh warga negara, maka warga Negara itu dijamin oleh konstitusi untuk bebas memeluk agamanya dan menjalankan ajaran agama yang dipeluknya, apapun agamanya.

“Yang jelas konstitusi tegas mengatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia itu menganut enam agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tapi di luar yang enam, tetap harus dilindungi hak-haknya, selama mereka tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” katanya.

“Tentu itu juga dijamin oleh konstitusi selama memang ada pemeluknya,” tambah Menag sambil mengatakan bahwa belum mempunyai data apakah ada warga Negara Indonesia yang memeluk agama Yahudi.

Terkait rasa heran Guy Taylor dari Washinton Time, kenapa Islam Indonesia yang moderat dan toleran tidak menjadi model dan muncul dalam pemberitaan internasional? Menag balik bertanya kepada mereka kenapa barat hanya berkiblat kepada Timur Tengah soal perkembangan dunia Islam?

DIjelaskan Menag bahwa Indonesia sekarang terus mencoba mensosialisasikan dan memperkenalkan bagaimana Islam yang rahmatan lil alamin itu bisa menjadi mainstrean dalam kehidupan antar kita bahkan di dunia internasional. Bahkan, sekarang ini sudah mulai banyak forum internasional yang melihat keberhasilan Indonesia dalam mengelola keragaman dengan penuh kedamaian dan harmoni.

Ditambahkan Menag, Kementerian Agama juga banyak memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa asing untuk belajar Islam di Indonesia, seperti Jerman, Inggris, Polandia, Rusia, dan Negara. Mereka belajar tentang Islam di Indonesia atas beasiswa Kemenag, dan itu bagian dari upaya untuk memperkenalkan Islam Indonesia.

“Karenanya, yang perlu ditekankan di sini, kasus-kasus di Timur Tengah misalnya yang selama ini menjadi kiblat dunia melihat Islam, harus mulai diubah. Jangan hanya Timur Tengah saja yang menjadi potret wajah Islam, tapi juga belahan timur di mana Indonesia bisa menjadi contoh sesungguhnya dalam melihat bagaimana nilai-nilai Islam itu bisa diterapkan dalam ikut menjadi perdamaian di dunia,” tegas Menag.

Lantas bagaimana Indonesia bisa membina harmoni itu? Bagaimana dialog antar agama yang berjalan di Indonesia? Apakah Pemerintah memperlakukanmasyarakat yang agamanya berbeda-beda dengan cara yang sama? Demikian beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Zeyad Nihad Al Zubaidi Senior Correspondent Al Hurra Television, Baghdad, Irak.

Dijelaskan Menag, usaha untuk menjaga kerukunan dilakukan dengan menempuh dua jalur, formal dan informal. Jalur formal, Pemerintah Pusat dan Daerah bekerjasama membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). “Ada forum yang dibuat Negara yang terdiri dari wakil-wakil semua umat beragama untuk memusyawarahkan kalau ada sesuatu yang perlu dipecahkan, bila ada persoalan menyangkut keagamaan yang membawa dampak buruk terhadap agama yang lain, maka di forum itulah dimusyawarahkan,” jelasnya.

Jalur informal dilakukan atas inisiatif masyarakat Indonesia itu sendiri. Menurutnya, banyak ormas yang dibentuk oleh masyarakat yang terdiri dari beragam umat beragama juga untuk fungsi yang sama, menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di antara mereka.

“Melalui dua hal itulah maka banyak persoalan yang muncul di masyarakat tidak sampai menjadi konflik atau perselisihan karena berhasil diredam oleh forum-forum permusyawaratan seperti itu,” katanya.

Diskusi semakin hangat dan para jurnalis semakin antusias untuk mengajukan pertanyaan sampai pada hal-hal yang spesifik menyangkut persoalan-persoalan sensitif. Syeeda Gulshan Ferdous Jana, Editor Somewhere In Blog, Dhaka dari Bangladesh misalnya, menanyakn tentang kebebasan berpendapat di Indonesia dan bagaimana dengan masyarakat yang menganut paham ateisme?

Pertanyaan Syeeda ini, disoal secara lebih eksplisit oleh Saeed Kamali Dehghan, Foreign Reporter The Guardian, London yang berasal dari Iran. Saeed Kamali menanyakan kasus yang terjadi tahun 2012 di mana ada orang yang dipenjara karena ateis.

Tentang ini, Menag kembali menegaskan bahwa secara prinsip, kebebasan berpendapat di depan umum dijaga, dihormati, bahkan dilindungi oleh undang-undang. Jadi kita bebas mengungkapkan apa yang kita pikirkan, yang kita rasakan.

Terkait paham ateisme, Menag menjelaskan tentang adanya perbedaan pandangan di tengah masyarakat, khususnya dalam menafsirkan sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, pasal 29 Ayat 1 yang tegas mengatakan Negara Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dan pasal pasal 29 ayat 2, negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.

Menurutnya, perbedaan pandangan itu disebabkan masih ada sebagian kecil yang menganggap bahwa negara menjamin kebebasan seseorang untuk memeluk agama itu bisa juga dimaknai sebagai Negara harus menjamin kebebasan orang untuk tidak beragama. “Ini ada paham seperti ini, meski paham sekelompok kecil masyarakat kita saja,” ujarnya.

“Namun yang lebih besar tidak seperti itu pandangannya. Karena Undang-Undang tegas mengatakan bahwa mengajak orang lain yang secara terang-terangan untuk tidak beragama, itu terkena tindak pidana. Jadi UU No. 1/PNPS tahun 1965 itu mengatakan bahwa pada pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur bahwa mengajak orang lain secara terang-terangan untuk tidak menganut agama apapun yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, itu masuk kategori tindak pidana.

Untuk itu, pada tahun 2012 memang ada satu orang di Sumbar yang dipidana. Namun demikian, Menag menegaskan bahwa itu bukan karena ateis, tapi karena dia mengajak orang lain untuk menjadi ateis. Itu yang saya katakan tadi bahwa menurut UU KUHP pasal 165 a menjadi tindak pidana.

Hal lain yang ditanyakan oleh para jurnalis asing ini adalah terkait penodaan agama. Muhammad Yasir Pirzada, Columnist/News Analyst, Daily Jang, Lahore dari Pakistan menanyakan rasionya. Sementara Darshini Kandasamy, Assistant News Editor Malaysiakini, Kuala Lumpur, dari Malaysia meminta tanggapan Menag tentang penilaian bahwa hukum penodaan agama sebagai membatasi hak minoritas?

Tentang rasio, Menag menjelaskan bahwa kasus penodaan agama di Indonesia rasionya kecil sekali. Kasus teraktual menyangkut Ahmadiyah, namun belum masuk ke pengadilan sehingga belum bisa diputuskan apakah masuk kategori penodaan atau tidak.

Menag juga meminta agar aturan tentang penodaan agama tidak dimaknai sebagai upaya mengurangi hak-hak minoritas. Menurutnya, yang dikatakan penodaan agama itu kalau ada ajaran atau paham seseorang yang mengaku agamanya sama,tapi ajaran itu bertentangan atau menyimpang dari pokok atau inti ajaran agamanya.

Pada bagian akhir dialog, Kevin Eckstrom, Editor in Chief, Religion News Service Washington D.C. secara mengejutkan menanyakan kenapa di Indonesia ada Kementerian Agam? Hal ini dipertajam lagi dengan pertanyaan jurnalis lainya tentang langkah Menag menyikapi tuduhan korupsi di Kementerian Agama?

Tentang ini, Menag menjelaskan bahwa Bangsa Indonesia dikenal sejak ratusan tahun lalu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, terlepas apapun agama yang dianut oleh berbagai ras, etnis, dan budayanya. Mereka tidak bisa melepaskan nilai-nilai agama dalam kehidupan keseharian mereka. Sejak mereka lahir sampai meninggal dunia, banyak ritual-ritual ajaran dan nilai-nilai agama yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Karenanya, agama tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keseharian bangsa Indonesia. Di sinilah kekhasan Indonesia, ketika negara lahir, maka negara pun juga memiliki kewajiban untuk bisa ikut menjaga kehidupan masyarakatnya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama itu. “Itulah kenapa kemudian ada Kementerian Agama yang di antaranya memiliki tugas meningkatkan kualitas kehidupan, kerukunan, dan pendidikan agama masyarakat Indonesia.

Menag menambahkan bahwa agama, selain banyak sekali sisi positif, tapi karena ini diyakini dan merupakan sesuatu yang bisa menimbulkan fanatisme, juga berpotensi menimbulkan gesekan, kalau tidak dikelola dengan baik. “Itulah kenapa di Kementerian Agama ada Dirjen Bimas Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha yang bertanggung jawab untuk mengurusi hal ikhwal tentang kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia sesuai dengan agamanya itu,” terangnya.

Tenteng pemberantasan korupsi di Kementerian Agama, Menag menegaskan komitmennya untuk menjadi teladan, khususnya bagi keluarga besar kementerian yang sekarang dipimpinnya. “Saya harus bertindak lurus dan saya harus bisa memotivasi, mengajak semua yang ada di Kemenag ini untuk juga selalu on the track dalam menjalankan fungsi dan tugasnya,” tegasnya.

Untuk itu, kata Menag, langkah pertama yang ditempuh adalah transparansi. Kementerian Agama harus membuka diri sehingga mempunyai kesadaran bahwa kinerjanya senantiasa dikontrol masyarakat. Langkah kedua, adalah meminta masukan dari berbagai pihak, karena masukan itu sesungguhnya vitamin untuk bisa terus meningkatkan.

“Jadi transparansi lalu mengundang saran dan masukan itu adalah cara untuk bagaimana kita selalu dari hari ke hari untuk bisa meningkatkan diri menjadi lebih baik,” tegas Menag.

Demikian, proses dialog antara Menag dan para jurnalis ini berjalan dengan intens dan hangat. Mengakhiri paparannya, Menag kembali menggarisbawahi satu hal, bahwa keindonesian harus terus dikedepankan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dan itu yang menjadi modal social dalam menjaga kerukunan.

Akan semua hal ini, Ketua Delegasi Liz A. Dorn dari Honolulu, Hawai mengaku sangat senang dengan kunjungannya ini. Liz mengaku bahwa pertemuan kali ini sangat bermanfaat dalam mencerahkan semua pihak yang ada di sini mengenai budaya dan agama di Indonesia dan ini akan membantu mereka dalam memahami Islam di Indonesia. (mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua