Nasional

Menag RI Hadiri Pertemuan Wanita Muslimah di Thailand

Pattani (Pinmas) -Menteri Agama RI Suryadharma Ali menghadiri Asean Muslimah Assembly (Pertemuan Wanita Muslim Asia Tenggara) di Thailand, akhir pekan lalu. Pertemuan ini, menurut Menag diharapkan sebagai ajang berbagi pengalaman dalam pemberdayaan perempuan, juga mengembangkan kerjasama negara-negara Asean dalam upaya membangun ketahanan regional. Pada kesempatan ini kami datang untuk bertukar pikiran dan berbagi pengalaman tentang satu persoalan yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu peluang dan tantangan Muslimah dalam membangun bangsa, kata Menag Suryadharma Ali dalam sambutan pertemuan yang berlangsung Sabtu (6/7/2013) di Stadion Indoor Pattani, Thailand Selatan.

Pertemuan juga dihadiri Deputy Prime Minister Of Thailand HE.Mr. Pongthep Tepkanchana, Ketua Kantor Pembangunan Provinsi Pattani Mr. Sert Al-Jufree, Penasihat Kumpulan Wanita Muslim Pattani Mrs. Ni Firdaous Sulaiman serta delegasi dari Indonesia Hj. Indah Suryadharma Ali, Dirjen Bimas Islam, Abdul Djamil, dan Prof Dr Tutty Alawiyah, serta ribuan peserta wanita Muslimah. Menag mengatakan, Islam memiliki sejarah yang cukup panjang dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, jauh sebelum kemunculan gerakan feminism di Barat yang baru dimulai dua atau tiga abad yang lalu.

Perhatian terhadap hak-hak perempuan semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir ini, tandasnya. Berbagai langkah ditempuh untuk mendorong persoalan tersebut agar semakin meningkat baik pada tingkat lokal maupun dalam skala global. Berbagai konferensi digelar dengan tujuan menegaskan perlunya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Yang dimaksud dengan diskriminasi tersebut adalah pembedaan atau marginalisasi atau peminggiran atau pembatasan yang dilakukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, jelas Suryadharma Ali.

Secara umum, laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama dalam hak-haknya di bidang politik, ekonomi, budaya dan sipil. Namun menurut dia, upaya-upaya para aktifis feminis liberal dalam penyetaraan laki-laki dan perempuan secara radikal tanpa batas-batas kodratnya dinilai bertentangan dengan beberapa ajaran Islam, seperti usulan perlunya legalisasi abortus, perkawinan sesame jenis, larangan melaksanakan khitan bagi perempuan dan sebagainnya.

Tentu, cara pandang dan perilaku terhadap aspek-aspek keperempuanan tidak boleh keluar dari konteks nilai-nilai dasar Islam. Karena Islam di satu sisi mengenal dan mengajarkan hak persamaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi disisi lain, Islam menghargai perbedaan yang ada pada keduanya karena factor struktur dan biologis yang terjadi di luar kehendaknya, papar Menag.

Dalam kontek Indonesia, lanjut Menag, peran perempuan telah dimulai sejak fase pergerakan kemerdekaan hingga Indonesia merdeka. Di awal pergerakan kemerdekaan Indonesia, perempuan telah memiliki sejarahnya sendiri, khususnya dalam upaya renaissance atau pencerahan keperempuanan seperti yang dilakukan oleh Kartini, Dewi Sartika, Rasuna Said, Roehanna Kudus dan tokoh-tokoh lainnya.

Pergerakan tokoh-tokoh tersebut hanya pada membuka akses menuju perempuan yang berwawasan dan tidak hanya terindoktrinasi sebagai ibu rumah tangga. Bahkan, konsep kesadaran perempuan tersebut telah dimanisfestasikan dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Seperti Roehanna Kudus telah memantikkan semangat keperempuannnya dalam menumbuhkan nasionalisme kebangsaan, sebagaimana juga ditunjukkan oleh tokoh Cut Nyak Dien, Cut mutia dan lain lain, dimana perempuan harus pandai agar mampu menjadi pemimpin di masyarakat. Atau syarat minimal lain dari konteks perempuan dan semangat juang kebangsaan adalah paling tidak menjadi seorang yang cendekia, kalaupun tidak menjadi tokoh pemimpin. Sedangkan dalam sejarah Indonesia modern, peran perempuan nampak lebih nyata, baik dibidang pendidikan, ekonomi politik, maupun dakwah.

Menag lebih lanjut mengatakan, globalisasi yang menyajikan tatanan dunia baru merupakan salah satu tantangan yang mengharuskan kita selalu meningkatkan kualitas agar dapat berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Tantangan pokok dalam upaya meningkatkan peranan perempuan di era global ini adalah meningkatkan kualitas dan kemandirian perempuan yang tercermin dari tingkat kesehatan, pendidikan dan ketrampilan, peningkatan kesejahteraan dan penguasaan serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, paparnya.

Menurutnya, peningkatan kualitas pendidikan bagi perempuan ini merupakan syarat mutlak agar dapat berkontribusi secara optimal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dan mewujudkan perubahan positif di tengah-tengah masyarakat. Sekalipun pembinaan anak adalah tangungjawab bersama orang tua, namun sebagai ibu, perempuan mempunyai peranan penting sebagai pendidikan pertama dan utama, kata Menag seraya mengutip sebuah syair, al ummu madrasatun. Idza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyiba al a'raqi : Seorang ibu laksana sekolah. Jika dipersiapkan dengan baik maka sesungguhnya telah mempersiapkan lahirnya sebuah bangsa yang baik, tangguh, dan unggul. (sh/ks)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua