Nasional

Menag : Agama Tidak Mengajarkan Tindakan Terorisme

Yogyakarta, 10/9 (Pinmas)-- Menteri Agama Dr. H. Muhammad Maftuh Basyuni menegaskan bahwa agama tidak membenarkan tindakan terorisme, karena agama-agama jelas mengajarkan moderasi. Penegasan Menag itu disampaikan ketika membuka Dialog Pemuka Lintas Agama Asia-Eropa (ASEM Interfaith/Intercultural Retreat for Religious) di Yogyakarta, Rabu malam. Kegiatan itu sendiri berlangsung selama 3 hari, 9 - 12 September 2009, diikuti 80 peserta, 30 diantaranya berasal dari Asia-Eropa dan 50 peserta dari dalam negeri. Nampak hadir Dirjen Amerika dan EropaDeplu, Retno Marsudi dan sejumlah tokoh agama. Dalam Islam, diajarkan bahwa Tuhan menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan. Juga Islam mengajarkan rahmat dan salam, bukan bom dan teror, kata Maftuh. Demikian juga Yesus menekankan kasih dan damai. Buddha dan Khonghucu mengutamakan keseimbangan antara Yin dan Yang, antara sifat maskulin dan feminim. ``Sesungguhnya penganut faham keagamaan moderasi jauh lebih besar daripada radikal,`` katanya lagi. Dengan demikian jelas bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah melakukan gerakan bersama menyuguhkan semangat moderasi, toleransi dan damai. Hal ini dapat dilakukan melaluingerakan kulturalnyang bisa menyadarkan kepada semua umat bahwa agama tidak membenarkan tindakan terorisme. Dialog, kata Menag, merupakan salah satu jalan keluar dari persoalan antar umat beragama dan bahkan kelompok bangsa. Konflik agama yang pernah terjadi sesungguhnya bukan disebabkan oleh agama, namun dilatarbelakangi oleh isu ekonomi dan politik dan ditambah lagi tidak adanya dialog antarkelompok masyarakat yang berbeda agama dan budaya. ``Dengan demikian, melalui dialog keagamaan dan sosial yang konstruktif dapat menghasilkan penyelesain berbagai ketegangan,`` Maftuh menegaskan. Pemerintah, menurut dia, berupaya memperkuat kemandirian masyarakat, khususnya kelompok agama dalam menangani persoalan kerukunan dengan keterlibatan pemerintah secara minimal. Terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat propinsi kebupaten dan desanmerupakan satu hasil dari kebijakan pemerintah. Upaya menciptakan kerukunan umat beragama, katanya, dilakukan melalui pendidikan, budaya dan pendekatan hukum melalui Peraturan Pemerintah No.1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah dalam rangka menjamin kerukunan sosial. Contoh implementasi kebijakan pemerintah dapat dilihat dari pola pendekatan menangani isu sensitif Ahmadiyah, sebagai salah satu aliran keagmaan yang dianggap sebagai salah satu warisan dalam masyarakat muslim. Pendekatan yang digunakan melalui dialogbguna memahami persoalan tersebut ke arah yang seharusnya. Kebijakan ini diharapkan dapat mencegah munculnya konflik komunal yang mungkin dapat dipicu polemik mengenai aliran keagamaan, ia menjelaskan. Dalam konteks lebih luas, kata Maftuh, Indonesia aktif mempromosikan dialog antaragama, budaya dan media. Juga dengan Dialog Asia-Eropa Meeting (ASEM) pertama di Bali pada 2005 lalu. Dialog Bali, kata Menag, menghasilkan ``deklarasi dalam membangun kerukunan antarumat beragama melalui masyarakat internasional``. Pada dialog tersebut para tokoh agama setuju untuk menciptakan dasar umummguna mempromosikan toleransi antarumat beragama dan pemahaman antarmasyarakat di Asia dan Eropa. Terkait dengan pertemuan dialog ASEM yang akan berlangsung di Seoul, akhir September tahun ini, Maftuh berharap pertemuan Yogya itu dapat ditindaklanjuti. Dengan demikian dialog pemuka agama Asia-Eropa di Yogya dapat dijadikan penambah cakrawala dan peretas jalan untuk sebuah gerakan mempromosikan budaya perdamaian yang lebih nyata. (ant/ts)

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua