Nasional

Makna Persudaraan dalam Al-Qur`an dan Keteladanan Rasulullah

Sekretaris Baznas Muchlis M Hanafi

Sekretaris Baznas Muchlis M Hanafi

Jakarta (Kemenag) --- Persatuan Bangsa-Bangsa sejak 2020 menetapkan 4 Februari sebagai Hari Persaudaraan Manusia Sedunia. Penetapan ini didasarkan pada penandatanganan dokumen persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup Bersama oleh dua pemimpin agama, Islam dan Katolik.

Keduanya adalah Grand Syekh Al-Azhar, Imam Akbar Ahmed Al Tayeb dan Pemimpin Gereja Vatikan, Paus Fransiskus. Dokumen ini ditandatangani di Abu Dhabi, 4 Februari 2019.

Sekretaris Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Muchlis M Hanafi, dalam kajian di Masjid Istiqlal, Jumat (2/2/2024), menjelaskan makna persaudaraan dalam Al-Qur’an serta bagaimaan keteladanan Rasulullah dalam menguatkan semangat persaudaraan.

Dalam pandangan Al-Qur’an, kata Doktor Tafsir lulusan Universitas Al-Azhar ini, persaudaraan manusia tidak dibatasi oleh sekat-sekat agama, budaya, bahaya, suku dan warna kulitnya. Keragaman adalah sebuah keniscayaan yang harus dijaga dan dipelihara. Persaudaraan universal ini didasari kesamaan asal-usulnya, yaitu semua manusia adalah anak keturunan Adam dan hawa. (QS. An-Nisa'/4:1)

Dalam sebuah hadis, dijelaskan juga bahwa Nabi Saw selalu membaca doa setiap selesai shalat, “Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu. Ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi bahwa seluruh hamba (manusia) adalah bersaudara … (HR. Ahmad)

“Menarik dicermati, selain berisi penegasan bahwa seluruh hamba (manusia) adalah bersaudara, doa tersebut juga menyatakan bahwa yang menyatukan manusia, terlepas dari perbedaan yang ada, adalah penghambaan kepada Allah. Bahkan, bukan hanya semua manusia, alam semesta pun menghamba kepada Allah (QS. Al-Isra: 44), sehingga dalam konteks penghambaan tersebut manusia dan alam semesta adalah setara dan bersaudara. Saudara kita adalah yang ‘seudara’ dengan kita,” jelas Muchlis.

Muchlis M Hanafi menegaskan, pesan persaudaraan universal itu sangat kuat sekali. Sebab, hal itu dinyatakan setelah menyebut dua prinsip utama dalam akidah Islam, yaitu tauhid kepada Allah Swt dan kesaksian atas kerasulan Nabi Muhammad Saw (syahâdatâni). Pesan ini pun tidak tergoyahkan sampai menjelang akhir hayat beliau.

Dalam hajjatul wada` (haji perpisahan), 81 hari menjelang beliau wafat, Rasulullah menyampaikan khutbah bersejarah. Khutbah yang disampaikan di hadapan kurang lebih 120.000 orang itu dapat dinilai sebuah deklarasi pertama dalam sejarah kemanusiaan tentang hak-hak asasi manusia, karena berisikan nilai-nilai kemanusiaan yang menjaga kemuliaan manusia dan menjamin keamanan dan keselamatannya.

Dalam khutbah tersebut dinyatakan bahwa manusia berasal dari satu asal keturunan (Adam). Oleh karenanya, tidak boleh dibeda-bedakan atas dasar perbedaan suku dan warna kulit. Kemuliaan bukan ditentukan oleh itu semua, tetapi oleh kualitas ketakwaannya kepada Allah swt.

“Semangat ini mengukuhkan pesan Al-Qur’an bahwa perbedaan di antara manusia adalah untuk saling mengenal, berkomunikasi dan membangun harmoni, karena semua manusia berasal dari Adam dan Hawa (QS. Al-Hujurat: 13). Kesetaraan manusia digambarkan seperti gigi-gigi sisir yang memilikim kesamaan antara satu dengan lainnya (An-nâsu sawâsiyatun ka asnânil musythi),” sebutnya.

Muchlis M Hanafi tidak memungkiri bahwa Islam juga mengajarkan makna persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan. Dalam ayat 10 Surat Al-Hujurat misalnya, ditegaskan bahwa “orang-orang mukmin itu bersaudara”. Salah satu hadis Nabi juga menyatakan, “seorang Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya”. Keimanan dan keislaman tidak melihat perbedaan warna kulit, suku dan bahasa. Antara Bilal yang barasal dari kalangan budak dan Abu Bakar dari kalangan bangsawan yang memerdekakannya setara dan bersaudara.

“Tentang kedua sosok tersebut Sayyiduna Umar bin Khattab pernah berkata, “Abu Bakar adalah ‘tuanku’ yang memerdekakan ‘tuanku’ (Bilal) (HR. Al-Bukhari),” ucap Muchlis.

“Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia setara dan bersaudara dengan Umar bin Khattab yang berasal dari kalangan bangsawan suku Quraisy. Nabi menyatakan, “Salman bagian dari kita, keluarga kita, ahlul bayt) (Hr. Al-Hakim dalam al-Mustadrak),” lanjutnya.

Persaudaraan atas dasar keimanan yang bersifat inklusif, kata Muchlis, tidak menafikan persaudaraan universal, bahkan semakin menguatkannya. Seseorang yang beragama dengan benar tidak akan menyakiti saudaranya, meski berbeda agama dan suku bangsa, karena mereka bersaudara sekemanusiaan. Paham keagamaan yang mengajarkan kekerasan dan kebenciaan terhadap mereka yang berbeda agama dapat dipastikan bertentangan ajaran agama itu sendiri. Sebab, agama, lebih-lebih Islam, bersifat inklusif, menghormati keragaman agama dan kemuliaan manusia. Di saat melintas jenazah seorang Yahudi Nabi memberi penghormatan dengan cara berdiri, kendati mengundang ‘protes’ dari sebagian sahabatnya, seraya berkata: alaysat nafsan (bukankah dia juga manusia) (HR. Bukhari dan Muslim).

Pesan ini dipahami dengan baik oleh Sahabat Ali bin Thalib. Ketika menugasakan al-Malik al-Asytar sebagai Gubernur Mesir, sebuah wilayah yang sangat plural dari segi agama, Sahabat Ali berkirim surat yang berisi pesan tentang tata kelola pemerintahan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Sahabat Ali berpesan, “Penuhi hatimu dengan kasih sayang, cinta kasih dan kelembutan terhadap rakyat. Jangan seperti binatang buas yang menerkam dan memangsa mereka. Mereka itu ada dua kelompok; saudara seagama denganmu, dan setara denganmu dalam kemanusiaan”.

“Yang tidak seagama denganmu, saudaramu dalam kemanusiaan,” tandas Muchlis memberikan penegasan atas pesan dari Sahabat Ali.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua