Nasional

Kyai Masdar: Pancasila Bukan Dalam Bahasa Arab, Tapi Sangat Qurani

Jakarta (Pinmas) —- Pancasila itu memang bukan dalam Bahasa Arab. Namun demikian, Pancasila sangat Qurani. Untuk itu, perspektif agama harus dapat melihat makna atau substansi, bukan sebatas huruf. Jadi bukan hurufnya yang menjadi pertaruhan, tapi makna atau substansinya.

Pesan ini disampaikan oleh pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Masdar Farid Masudi saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional tentang Fenomena Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) bagi NKRI dan Islam Rahmatan Lil Alamin yang diselenggarakan Ditjen Bimas Islam Kemenag, Jakarta, Sabtu (09/08).

Menurut Kyai Masdar, kalau mau dipahami dalam perspektif Islam, Pancasila juga sangat Islami. “Ketuhanan yang Maha Esa, apa itu kalau bukan Tauhid?” tuturnya.

“Sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah prinsip Karamatul Insan atau memuliakan manusia,” tambahnya.

Terkait sila Persatuan Indonesia, Kyai Masdar mengatakan bahwa pesan dalam sila itu adalah ukhuwah wathaniyyah yang sebenarnya didasari pada ukhuwwah yang universal untuk semua agama, aliran, dan suku. Adapun yang terkait sila keempat, agama Islam menurut Kyai Masdar memerintahkan umatnya untuk mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan persoalannya (wa amruhum syuura bainahum).

Berkenaan sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Kyai Masdar mengutip pandangan Ibn Taimiyah yang mengatakan, “Allah pasti menolong Negara yang adil, meskipun kafir. Dan Allah tidak akan menolong Negara yang dzalim meskipun Muslim.”

Kyai Masdar mengaku bahwa menembus makna dan substansi yang terkandung dalam rangkaian huruf memang sering kali dirasakan sulit oleh orang-orang yang mengedepankan formalistik. “Menembus makna inilah yang sering kesulitan bagi penganut agama formalistik. Ini yang menjadi kesulitan,” tuturnya.

“Saya kira, itulah yang berhasil dilakukan para pendahulu umat Islam negeri ini, karena mereka datang dengan bahasa kaumnya. Di Jawa, dijawakan. Di Sunda disundakan. Di Madura dimadurakan, tanpa takut kehilangan maknanya,” tambahnya.

NKRI Harus Dijaga

Senada dengan Kyai Masdar, Prof. Yunahar Ilyas dari PP Muhammadiyah menegaskan bahwa Muhammadiyah selelu menafsirkan Pancasila dengan perspektif Islam. Selain itu, Muhammadiyah juga memandang bahwa NKRI adalah Negara hasil kesepakatan kita bersama yang harus dijaga (darul ahdi wal hadlarah).

“Kita yang mendirikan bersama, maka kita harus jaga. Bagaimana kita berusaha sungguh-sungguh agar NKRI ini bisa menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” katanya.

NKRI inilah Negara hasil kesepakatan kita dengan ideology pancasilanya,” tambahnya.

Prof. Yunahar mengaku bersyukur bahwa Indonesia mempunyai pengikat bersama berupa konsensus NKRI.

Hal sama ditegaskan Ketua Komisi Fatwa MUI KH Makruf Amin. Menurutnya, dalam NKRI, kita sudah mempunyai konsensus nasional, yaitu kesekatan pendiri Republik ini, dan tokoh Islam terlibat di dalamnya, tentang untuk hidup bersama dalam Negara bangsa Indonesi. “Orang Islam itu harus memenuhi perjanjian-perjanjiannya. Oleh karena itu kita berjanji bahwa Negara ini adalah Negara bersama,” terang Kyai Makruf.

“Tapi, semua aspirasi boleh diperjuangkan dengan tidak mengubah bentuk Negara dan menggunakan cara-cara yang tidak demokratis. Kita bisa menyampaikan aspirasi dengan cara demokratis dan konstitusional,” tambahnya.

Ditambahkan Kyai Makruf bahwa NKRI adalah Negara berdaulat yang tidak tunduk pada Negara manapun dan aspirasi masyarakat bisa diperjuangkan dengan cara demokratis dan konstitusional.

(mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua