Nasional

KH.A.Wahid Hasjim, Cendekiawan Islami yang Nasionalis

Jakarta(Pinmas)--Keturunan KH. A. Wahid Hasjim gemar membaca, selain cerdas juga memiliki integritas kuat untuk memajukan bangsa Indonesia dan hal itu juga menular kepada sejumlah santrinya yang kini menduduki sejumlah jabatan stategis di negeri ini. Ketokohan KH A Wahid Hasjim juga tercermin ketika memberikan buah pikirannya terhadap kata pengantar undang-undang (UUD) 1945. Ia diam bukan berarti setuju, bukan juga mengalah tetapi lebih mengedepankan sikap kenegarawanannya. Dengan demikian, KH WAhid Hasjim -- yang banyak dikenal oleh sejumlah tokoh asing -- banyak dijuluki sebagai tokoh cendikiawan Islam dengan tetap mengedepankan ke-Indonesiaan tatkala tampil di berbagai forum. Ia seorang santri, cendikiawan yang tak pernah lepas dari pijakan Indonesia dalam perjuangannya. Tokoh Muslim ini, diperbincangkan melalui bedah buku KH. A. Wahid Hasjim di Auditorium Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Sabtu (30/4) siang. Keluarga besar KH.A. Wahid Hasjim dan Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang selaku pengundang hadir pada acara tersebut. Sementara dari tokoh agama nampak terlihat Pendeta Nathan Setiabudi, Ketua PB Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa anggota DPR-RI. Panelis dalam bedah buku tersebut Dr. Tolchah Hasan, Dr. H. Nazaruddin Umar, Dr. Yudi Latief, dan KH. Ir. Salahuddin Wahid. Tolchah Hasan sempat menyoroti persoalan pendidikan pondok pesantren yang terkait dengan pendidikan di lembaga Islam masa lampau. Pendidikan agama di masa lalu tak hanya menekankan pada aspek sikap terhadap anak didik, tetapi juga mengusung nilai-nilai universal. Di dalam diri KH.A. Wahid Hasjim melekat ke-Islaman, kecendikiawanan dan ke-Indonesiaan, kata Tolchah Hasan. Mengaitkan persoalan masa silam dengan hal tersebut, Yudi Latif berpendapat bahwa keluarga KH.A.Wahid Hasjim memiliki tradisi kuat membaca, cerdas dan hal itu dapat terlihat pada beberapa putra-puterinya. Tradisi baca tulis yang kuat dikaitkan dengan nilai-nilai universal, tentu akan melahirkan generasi cerdas di masa datang. KH. A.Wahid Hasjim begitu dekat dengan pendidikan pondok pesantren, namun ia tak mengabaikan lembaga pendidikan Barat saat itu. Ternyata, kedepan, banyak santri mampu bersinergi dengan lembaga-lembaga lain. Nazaruddin Umar sempat juga menyinggung prihal radikalisme yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai universal. Buku setebal 711 halaman tentang sejarah KH.A.Wahid Hasjim, diluncurkan berkaitan dengan peringatan 100 tahun almarhum. Tokoh pejuang Muslim ini lahir pada 6 Rajab 1332 H atau 8 Juni 2011. Buku ini sebetulnya merupakan buku lama, namun diterbitkan kembali dengan ejaan yang disempurnakan. Hal ini dapat dilihat dari kata pengantar yang ditulis oleh KH. Muhammad Ilyas, mantan menteri Agama pada 10 Januri 1958. Termasuk sekapur sirih dari KH. Idham Chalid, Wakil Perdana Menteri RI II pada Januari 1958. Bersamaan dengan itu pula diluncurkan buku sepak terjang KH. A.Wahid Hasjim dalam bukunya "Mengapa Saya Memilih NU". Buku setelal 284 halaman tersebut berisi tentang agama, politik, pergerakan, perjuangan umat Islam, Pendidikan dan Pengajaran. Termasuk pula mistik dan kebatinan dibahas dalam buku tersebut. Sementara bidang Kementerian Agama, Urusan Haji dan Menghadapi Revolusi dibahas pada halam bagian akhir buku tersebut. Buku ini, menurut para tokoh yang hadir, layak dibaca para tokoh pejuang untuk menambah referensi. Buku ini dapat memberi gambaran bahwa NU akan berpengaruh besar terhadap perkembangan kebangkitan umat Islam di Indonesia.(ant/es)
Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua