Nasional

KH Said Al-Munawwar: Tanpa Kitab Kuning, Pesantren Bukanlah Pesantren

Jambi (Pinmas) —- Ketua Dewan Hakim Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Tingkat Nasional ke-V Tahun 2014, di Ponpes As’ad, Olak Kemang, Danau Teluk, Kota Jambi, KH Said Agil Husein Al-Munawwar menyatakan bahwa sebuah pondok pesantren, tanpa pengarajan kitab kuning, bukanlah sebuah pondok pesantren.

“Selain kiai, santri, pondok dan masjid, (pengajaran) kitab kuning merupakan elemen terpenting dalam sebuah pondok pesantren. Tanpa kitab kuning, pesantren bukanlah pondok pesantren,” terang jebolan Universitas Ummu AI-Qura, Mekkah tersebut.

Dikisahkan Kiai Said, bahwa saat Bapak Alamsjah Ratoe Perwiranegara menjadi Menag (1978-1983), ada usulan, bahwa pesantren adalah nama semua lembaga pendidikan Islam. Namun usulan tersebut tidak bisa direalisasikan, karena beberapa kalangan kiai menolak.

“Kitab kuning merupakan khasanah intelektual keislmaman yang telah dicetak dan harus kita kuasai. Meski demikian, masih ada sekitar 650 ribu “kitab kuning”, tersebar di berbagai penjuru dunia yang masih berbentuk manuskrip/mahtub yang belum dicetak. Kebanyakan manuskrip tersebut tersimpan di perpustakaan perguruan tinggi berbagai Negara,” urai Kiai Said.

Kitab kuning asal, biasanya berbentuk matan, kemudian dijabarkan menjadi syarah, syarah diperluas menjadi hasiyah, dan hasiyah diberi catatan kecil bagi beberapa hal yang belum bisa dipahami, dinamakan hamis, kemudian, hamis pun masih diberi cacatan, yang kita kenal dengan sebutan taqrir.

“Jadi, satu kitab, bisa berisi 5 keterangan. Di sinilah, awal Musabaqah ini kita lakukan. Hal ini menunjukkan betapa kajian terhadap kitab kuning terus berjalan dan tak akan selesai, karena memang bersifat dan terbagi dalam berbagai disiplin ilmu. Imam Syuyuti misalnya, mengatakan bahwa untuk mempelajari al-Qur’an tak terbatas ilmu dan disiplin ilmu yang dibutuhkan. Sedang Imam al-Zarkasi mengatakan bahwa tak kurang dibutuhkan 47 disiplin ilmu untuk mempelajari al-Qur’an. Padahal, untuk mempelajari satu disiplin ilmu saja, karena keterbatasan waktu, hingga meninggal dunia pun, belumbisa kita bisa menguasai,” jelasnya.

“Ada keilmuan, ada materinya. Disinilah pentingnya keberkahan dari para pengasuh atau kiai pondok pesantren. Bisa dikata, beliau-beliaulah sumber keberkahan. Kalau mau belajar semua, tidak mungkin, karena waktu kita hidup sangat terbatas,”urai Kiai Said.

Ditanya tentang harmonisasi antara ilmu pengetahuan (sains) dengan kitab kuning yang konon kurang harmonis dan cenderung tidak nyambung, Kiai Said membantahnya.“Kata siapa sains dan kitab kuning tidak nyambung? Salah besar itu. Sejak tahun 2000-an di beberapa negara seperti Jerman, banyak para jebolan pondok pesantren yang belajar teknologi. Bahkan beberapa waktu lalu, ada beberapa santri yang dikirim ke Jepang untuk belajar sains. Salah satu lulusan luar negeri ahli teknologi itu adalah Dekan Fakultas Teknologi ITS Surabaya, Agus Zaenal Arifin. Beliau mengajar Tafsir Munir di Masjid ITS,” katanya.

“Dulu, MQK tak terpikirkan, kemudian sejak dilaksanakan, ternyata mendapat sambutan baik dari umat islam” tambah Kiai Said yang saat MQK dilaksanakan kali pertama (2003 di Bandung), beliau berposisi sebagai Menag.

Kiai Said melihat, kini, banyak pondok pesantren yang tadinya setengah-setengah dalam melakukan kajian kitab kuning, kini mulai serius. Kiai Said kini bisa berbesar hati, MQK pertama yang diselenggarakan pada erannya menjabat Menag, kini masih berlangsung dan bahkan diikuti oleh semuaprovinsi. Apalagi di Indonesia saat ini, ada tidak kurang dari 27 ribu pondok pesantren, dengan 3,8 juta santri.

Kiai Said juga melihat, mempelajari kitab kuning merupakan sebuah upaya untuk meredam radikalisme. “Jihad jangan diartikan sama dengan mengangkat senjata dan pertumpahan darah saja. Ada jihad penanggulangan kemiskinan, ekonomi dan lain sebagainya,” urainya. (g-penk/mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua