Nasional

Kemenag Tak Akan Tarik Al-Quran dan Terjemahannya

Jakarta (Pinmas) --Kementerian Agama tidak akan menarik Al-Quran dan terjemahannya yang sudah tersebar dan beredar menjadi pedoman masyarakat muslim Indoensia sejak tahun 1965. Al-Quran dan Terjemahannya itu dinilai layak untuk terus disebarluaskan guna memberikan pelajaran dan pengajaran serta pencerahan bagi umat muslim Indonesia. "Terkait adanya masukan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) tentang hasil kajiannya terhadap banyaknya kesalahan fatal pada terjemahan al-Quran yang diterbitkan Kementerian Agama, perlu diklarifikasi. Apalagi disebutkan bahwa Terjemahan al-Quran tersebut dinilai berkontribusi besar dalam menyemai bibit terorisme. Itu jelas tidak tepat," kata Kepala Litbang dan Diklat, Prof Dr Abdul Djamil kepada wartawan di Kementerian Agama Jalan Thamrin Jakarta Pusat, Senin (2/5). Hadir dalam kesempatan itu, Imam Besar Masjid Istiqlal yang juga ketua Tim Revisi Terjemahan Al-Quran Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub, MA; Kapuslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Dr H Hamdar Ar Raiyah; Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Drs H Muhammad Shohib, MA. Menurut Abdul Djamil, asumsi adanya kesalahan dalam terjemahan kemenag yang disampaikan Majelis Mujahidin didasari pada logika bahwa terjemahan Kemenag adalah terjemah harfiah yang telah diharamkan oleh para ulama. Olah karenanya, termemahan itu haram hukumnya. Namun, Al-Quran dan Terjemahan yang diterbitkan Kementerian Agama sudah memenuhi standar. Artinya hasil kajian tim yang terdiri dari para ulama yang berkompeten di bidangnya. Misalnya, al-Quran dan Terjemahnya yang disusun oleh tim tahun (1960-1965) yang kemudian beredar pertama kali tanggal 17 Agustus 1965 dalam tiga jilid. Anggota tim terdiri dari prof M Hasbi Ash Shiddiqi, KH Anwar Musaddad, KH Ali Maksum, Prof Bustami Abdulgani, dan lainnya. Dia menjelaskan, sejak pertama kali diedarkan hingga sekarang, termemahan al-Quran Kementerian Agama setidaknya sudah mengalami dua laki proses perbaikan dan penyempurnaan, yaitu: Pertama, penyempurnaan redaksional yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan bahasa pada saat itu, yaitu pada tahun 1989, dengan anggota tim antara lain Prof Dr Satria Efendi zain, Prof Dr M Quraish Shihab, MA dan lainnya; dan kedua, penyempurnaan secara menyeluruh yang mencakup aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek transliterasi dalam rentang waktu yang cukup lama antara tahun 1998 hinhgga 2002, dengan ketua tim Dr Ahsin Sakho Muhammad MA, Wakil Ketua Prof Dr KH ali Mustafa Yaqub, MA, dan narasuber Prof Dr M Quraish Shihab. "Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dialkukan oleh para ulama, ahli dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidangnya," ujarnya. Sementara itu Kepala Bidang Pengkajian al-Quran Lajnah pendashihan Mushaf Al Quran Muchlis M Hanafi memaparkan, asumsi terjemahan al-Quran memicu aksi terorisme yang dilontarkan Majelis Mujahidin Indonesia, tidaklah tepat. Karena selain mengingkari karakter terjemahan yang memiliki sejumlah keterbatasn yang ada padanya, juga mengabaikan berbagai fakta bahwa aksi-aksi tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor; sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. "Penyebabnya bukan terjemahan, tetapi pemahaman terhadap teks-teks keagamaan secara parsial, sempit dan sikap tidak terbuka terhadap berbagai perbedaan pandangan keagamaan," ujarnya. Dia mengatakan, jika terjemahan sedemikian rupa yang menjadi pemicu aksi kekerasan dan basis ideologi teroris, tentu jumlah teroris akan lebih banyak dari yang ada sekarang. "Mayoritas penduduk Indonesia akan menjadi teroris, sebab mereka mengandalkan pemahaman al-Quran dari terjemehan, dan terjemahan al-Quran dengan pendekatan seperti ini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka." Mengapa asumsi negatif tersebut ditujukan hanya kepada Kementerian Agama? Sebenarnya secara "implisit" Majelis Mujahidin pun telah menuduh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, dimana Pemerintah Kerajaan Arab Saudi juga setiap tahun mencetak terjemahan tersebut dalam jumlah besar dan sebagian dibagikan kepada sekitar 210.000 jamaah haji Indonesia. Lembaga yang mencetaknya (Mujamma al Malik Fahd) yang dikawal oleh ulama-ulama berkompeten dalam masalah al-Quran. "Faktanya adalah para teroris berjumlah minoritas, bahkan mungkin bisa dihitung jari. Pada umumnya mereka anti pemerintah termasuk anti terjemah al-Quran yang diterbitkan oleh pemerintah. (dik)
Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua