Nasional

Dirjen Bimas Islam: Melestarikan Perkawinan Tak Mudah

Jakarta(Pinmas) - Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. H. Abdul Djamil MA mengakui, dalam era globalisasi. melestarian perkawinan dalam kehidupan suatu rumah tangga bukan pekerjaan mudah, apa lagi mewujudkan kelurga sakinah mawaddah warahmah. Penegasan tersebut dikemukakan Abdul Djamil ketika membuka workshop: Revitaisasi Peran Badan Penasehat Pembina dan PelestarianPerkawinan (BP4) Dalam Menjawab Tantangan Kehidupan Perkawinan dan Keluarga di Era Globalisasi di Auditorium Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (7/2).

Kegiatan workshop tersebut yang dikaitkan dengan Milad Setengah Abad Badan Penasehat Pembina dan PelestarianPerkawinan (BP4), menampilkan pembicara Prof. Dr. H. Abdul Jamil MA, Hj. Khofifah Indar Parawansa, Dr. Zaim Ukhrawi, Prof. Dr. Ahmad Mubarok dan Dra. Hj. Zubaidah Muchtar. Sekitar 100 orang hadir pada kegiatan itu, termasuk dari beberapa daerah. Pada kesempatan tersebut Kemenag juga memberikan penghargaan terhadap Zubaidah Muchtar, Suhartini Hartono (alm), H. Ali Akbar (alm), Nasaruddin Latif (alm) dan Aisyah Dahlan (alm) karena mereka dinilai memberi andil besar terhadap BP4, sehingga institusi tersebut hingga sekarang dirasakan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Dirjen Bimas Islam Abdul Djamil pun mengakui bahwa eksistensi dari BP4 tersebut. Bimas Islam merasa terbantu. Sebab, Bimas Islam pun tak dapat bekerja sendirian untuk melestarian perkawinan. Terlebih secara geografis demikian luas. Apalagi karakteristik budaya, tingkat pendidikan dan pengaruh globalisasi demikian kompleks dewasa ini. Sejarah BP4 demikian panjang. Dan memasuki usianya yang 50 tahun tentu telah banyak mengalami banyak tantangan. Budaya masyarakat juga berkembang seiring perkembangan zaman. Di dalam keluarga pun, seperti halnya masyarakat, ada kegaduhan. Bukan kegaduhan politik saja, di dalam keluarga pun pasti ada. Di sisi lain, era teknologi informasi pun berjalan. Hal ini yang disebut sebagian orang sebagai bagian dari pengaruh globalisasi.

Menurut dia, siapa pun tak bisa menghindarinya. Jarak semakin dekat, sekat ruang semakin terbuka karena dapat ditembus. Semisal orang memiliki telepon genggam, informasi apa saja bisa diakses dengan mudah. Angka perceraian saja pada 2011 mencapai 333.844 perceraian dari 2,3 juta perkawinan. Dari angka perceraian itu terjadi 190 gugat cerai yang dilakukan pihak wanita di beberapa pengadilan agama. Angka perceraian itu, katanya, memberi arti tersendiri dalam kehidupan rumah tangga. Ada apa, tanyanya. Dahulu jika ada wanita diancam oleh suaminya akan diceraikan, wanita bersangkutan akan merasa takut. Tapi, untuk sekarang ini tidak demikian lagi. Malah wanita atau sang isteri yang mendapat perlakukan demikian bisa jadi malah balik mengancam.

Bila perlu sesegera mungkin lekas mendatangi kantor pengadilan untuk bercerai, kata Abdul Djamil yang disambut tawa hadirin. Ia mengaku prihatin, jika ada pasangan suami-isteri hendak bercerak mengumumkan kepada publik dengan cara mengundang wartawan. Sang suami menggelar jumpa pers dan sang isteri pun demikian mengumumkan kepada wartawan bahwa mereka akan bercerai. Alasan klasik yang dikemukakan dari mereka adalah sudah tidak ada kecocokan lagi dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Ini sangat memprihatinkan kita semua, kata Dirjen Bimas Islam itu.(ant/ess)

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua