Kolom

Zakat Pembersih Harta dan Jiwa (Berdialog dengan Prof. Dr. Zakiah Daradjat)

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang).

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang).

Sejak 1984, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) telah merekognisi dimensi spiritual/agama sebagai salah satu dari empat pilar kesehatan. Keempat pilar kesehatan meliputi sehat secara jasmani, sehat secara kejiwaan, sehat secara sosial, dan sehat secara spiritual atau rohani.

Semasa hidup Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat (1929 – 2013), saya pernah melakukan dialog dengan pakar ilmu jiwa agama dan pelopor pengembangan psikologi Islam di Indonesia itu dalam rangka wawancara untuk kolom Majalah Zakat yang diterbitkan BAZNAS.

Ketika itu saya bertanya seputar buku karya Ibu Zakiah Daradjat berjudul Zakat Pembersih Harta dan Jiwa dan latar belakang beliau mengangkat judul tersebut. Buku yang diterbitkan oleh Perguruan Islam Rumaha (1992) itu mengupas kedudukan zakat sebagai rukun Islam dan hubungan zakat dengan kesehatan jiwa/mental. Dalam bukunya penulis memberi ilustrasi beberapa contoh empiris berdasarkan pengalaman melayani konsultasi agama dan psikologi.

Menurut Zakiah Daradjat, dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang mengeluh, cemas dan gelisah tanpa sebab, padahal orang itu kaya atau berkecukupan. Orang mengatakan, “Mungkin selama ini dia tidak mengeluarkan zakat.”

Zakiah Daradjat saat itu Guru Besar IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengajak pembaca memetik hikmah dan pelajaran dari pengalaman yang terjadi di masyarakat. Seorang perempuan kaya di usia tuanya mengeluh kesehatannya terganggu. Selera makan hilang dan tidur tidak nyenyak. Dia telah berobat kepada beberapa dokter spesialis, namun tidak sembuh juga. Hampir tiap hari merasa penyakitnya bertambah berat. Seorang temannya berkata: ”Barangkali Anda tidak menunaikan zakat.” Sementara dia merasa telah mengeluarkan zakat, namun dalam hati kecilnya masih timbul kegelisahan.

Suatu hari orang itu datang ke tempat praktik konsultasi Zakiah Daradjat di Jl. RS. Fatmawati No 33 A, Cipete, Jakarta Selatan.

”Benarkah penyakit saya ini disebabkan karena tidak berzakat?” ucapnya.

”Mengapa Anda bertanya demikian?”

”Belakangan ini saya sering sakit. Macam-macam penyakit yang datang. Obat yang diberikan dokter, tidak ada yang menolong. Saya ceritakan kepada teman, justru saya dikatakannya tidak menunaikan zakat. Padahal saya selalu berzakat. Setiap ada orang minta sumbangan, selalu saya beri.”

”Bagaimana Anda menentukan berapa zakat yang wajib Anda keluarkan?”

”Yah, itu tidak saya hitung. Yang penting hampir setiap hari saya mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah, kadang-kadang lebih.”

”Yang Anda berikan kepada orang miskin atau peminta sumbangan dengan cara seperti itu, bukanlah zakat, akan tetapi shadaqah atau sumbangan sukarela. Anda berpahala dengan shadaqah atau sumbangan seperti itu. Akan tetapi, kewajiban Anda untuk mengeluarkan zakat dengan cara demikian, belum terlaksana.”

Wanita itu terdiam. Ia tersentak dan menyesali dirinya. Mengapa selama ini tidak menanyakan kepada orang yang mengerti masalah agama.

Menurut Zakiah Daradjat, ”Pada dasarnya harta memang menunjang kehidupan manusia. Sebaliknya, harta dapat berubah menjadi penyebab kegelisahan, perselisihan dan permusuhan. Karena harta, orang berkelahi. Karena harta, hubungan persaudaraan menjadi renggang, bahkan karena harta, hubungan keluarga menjadi putus. Tidak jarang, perselisihan anak dan orangtua terjadi disebabkan harta. Sebetulnya, bukan harta yang menjadi penyebab. Sebabnya mungkin cara mendapatkan harta itu yang tidak benar, atau sebagian kecil dari harta itu yang sesungguhnya milik orang lain tidak dikeluarkan.”

”Di sinilah peranan zakat. Manfaat zakat bagi penerimanya sudah jelas, membantunya dalam memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Sedangkan manfaat zakat bagi yang menunaikannya cukup banyak, terutama menjadikan hidup bersih dan sehat. Boleh jadi orang tidak pernah menyangka bahwa zakat mempunyai pengaruh terhadap kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Memang ada sementara orang yang menjadi kaya atau banyak harta, menjauh dari orang miskin dan kurang perhatian kepada kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia terasing dari lingkungannya.” ujar Zakiah Daradjat.

Dalam buku Agama dan Kesehatan Badan/Jiwa karangan Prof. dr. Aulia dijelaskan masalah psikosomatik atau penyakit kejiwa-badanan yang kerap diderita manusia di abad modern. Psikosomatik ditandai keluhan fisik yang bersumber dari gejala kejiwaan.

Sebuah kejadian tragis dialami seorang eksekutif muda berusia 38 tahun, seperti ditulis Zakiah Daradjat dalam bukunya di atas. Karirnya cukup bagus. Gajinya melebihi kebutuhan hidupnya. Punya rumah dan mobil pribadi. Anak-anaknya bersekolah di sekolah yang baik. Adapun tentang zakat pendapatan atau zakat profesi, dia mempunyai pendirian lain. Menurutnya, dia tidak wajib mengeluarkan zakat itu, karena di zaman Nabi hal demikian tidak diatur.

Kehidupannya berjalan lancar tanpa menghiraukan zakat. Beberapa tahun kemudian setelah mencapai usia 45 tahun, kesehatannya menurun. Menurut diagnosa dokter, dia sebetulnya menderita psikosomatik yaitu gangguan kejiwaan yang mengakibatkan gejala fisik. Karir yang tadinya bersinar mulai redup.

Acapkali cinta kepada harta menyebabkan seseorang enggan menunaikan kewajiban zakat. Membayar zakat dianggap mengurangi harta dan penghasilan.

Penyesalan biasanya datang belakangan. Kesehatan eksekutif muda itu makin memburuk. Timbul penyesalan, mengapa salah satu rukun Islam yaitu mengeluarkan zakat selamanya tidak ditunaikannya. Ia ingin membayar zakat yang telah banyak bertumpuk. Akan tetapi penghasilannya telah jauh berkurang, sementara harta yang ada harus dipertahankannya untuk biaya anak-anaknya yang telah menjadi remaja.

Kegelisahan terus membebaninya. Zakat terhutang tidak mungkin dibayar lagi. Dia meninggal dunia membawa perasaan berhutang kepada Allah. Membawa utang zakat yang tidak akan pernah terbayar, kecuali bila anak-anaknya mau membayar utang zakat ayahnya (atau Allah mengampuninya). Ternyata ada hubungan zakat dan kesehatan, terutama kesehatan mental, imbuh Zakiah Daradjat.

Kebahagiaan tidak dapat diukur dari nilai harta kekayaan yang dimiliki. Kalau kebahagiaan tergantung dari kekayaan, berarti setiap orang kaya pasti hidupnya berbahagia. Dalam kenyataan tidak selalu demikian. Zakiah Daradjat mendefinisikan dalam bukunya berjudul Kebahagiaan bahwa “kebahagiaan yang sebenarnya adalah terdapatnya ketenangan jiwa, yang sebetulnya mudah dijangkau oleh setiap orang.” Sederhananya, ketenangan jiwa bisa diperoleh apabila seseorang mendapatkan harta dengan cara yang halal dan baik serta tidak menahan hak Allah dan hak sesama manusia yang harus dikeluarkan dari harta miliknya.

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang).


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua