Kolom

Umrah dengan Kapal Laut?

Abdul Basir, Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU

Abdul Basir, Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU

Diskursus umrah backpacker terus bergulir. Banyak tokoh yang berpendapat tentang boleh dan tidaknya umrah backpacker. Sebagian berpendapat boleh-boleh saja dengan catatan tertentu, misal pelaku umrah backpacker berpengalaman bepergian ke luar negeri. Banyak pula yang beda pendapat, tidak boleh umrah backpacker karena aturan negara menyebutkan umrah melalui travel umrah atau Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).

Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah secara tegas mengatur bahwa, “Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau berkelompok melalui PPIU”. Namun, bila dilihat lagi pada pasal-pasal berikutnya, tidak ditemukan sanksi bagi pelaku ibadah umrah mandiri yang tidak melalui PPIU.

Dalam Bab XI UU No 8 Tahun 2009 hanya mengatur larangan bagi pihak yang bertindak secara tanpa hak sebagai PPIU. Pasal 115 misalnya, berbunyi “Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah”. Larangan tersebut berlaku bagi pihak pihak yang mengumpulkan dan/atau memberangkatkan.

Dalam pasal lain, yaitu Pasal 117, juga mengatur soal larangan, bahwa “Setiap Orang dilarang tanpa hak melakukan perbuatan mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah”. Bagi pihak yang mengambil setoran biaya umrah tanpa izin juga dilarang. Sehingga pihak yang tidak berizin PPIU, dilarang mengumpulkan atau mengkoordinir Jemaah umrah, menerima setoran umrah, dan dilarang pula memberangkatkan Jemaah umrah.

Sanksi atas larangan-larangan tersebut ditemukan di dalam Pasal berikutnya yaitu Pasal 122 dan Pasal 124. Ancaman sanksinya cukup berat berupa sanksi pidana. Pasal 122 menjelaskan bahwa, “Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Sedangkan Pasal 124 menyebutkan ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 117 akan dipenjara paling lama 8 tahun atau pidana denda paling banyak 8 milyar rupiah.

Namun, belum ada aturan yang secara spesifik mengatur tentang larangan umrah backpacker. Belum selesai diskursus terkait itu, kini muncul lagi wacana di masyarakat tentang umrah dengan kapal laut. Tentang ini, banyak publik yang bertanya, tentang proses perjalanannya, mulai dari durasi, biaya, risiko, hingga regulasinya.

Umrah dengan kapal laut mengingatkan kita akan sejarah haji masa lalu. Sebagaimana ditulis dalam berbagai buku sejarah haji, Masyarakat muslim Nusantara telah mulai perjalanan haji sejak era kolonial Hindia Belanda dengan menggunakan kapal laut. Bahkan, disebutkan bahwa perjalanan haji muslim Nusantara dulu masih menggunakan kapal layar. Baru pada 1960-an, perjalanan ibadah haji menggunakan kapal mesin. Perjalanan haji dengan pesawat dimulai sejak 1970-an.

Tentu perjalanan haji dengan kapal laut banyak suka dukanya. Masa perjalanan yang panjang bisa dimanfaatkan jemaah haji untuk memperdalam manasik haji. Namun kondisi cuaca sangat mempengaruhi perjalanan. Ombak besar dan badai menjadi makanan sehari-hari, hingga tidak sedikit jemaah haji yang meninggal dunia saat di perjalanan laut. Belum lagi membicarakan kelayakan kapal, makanan, sanitasi, pelayanan kesehatan dan lain-lain.

Dari sisi regulasi, perjalanan ibadah umrah diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. Dalam PMA tersebut dijelaskan tentang standar kualitas pelayanan transportasi udara. “Transportasi meliputi transportasi udara dari Indonesia ke Arab Saudi dan dari Arab Saudi ke Indonesia, serta transportasi darat atau udara selama di Arab Saudi”. Kualitas transportasi udara diatur “transportasi udara dari Indonesia ke Arab Saudi dan dari Arab Saudi ke Indonesia dengan menggunakan penerbangan langsung atau paling banyak 1 (satu) kali transit dengan paling banyak 2 (dua) maskapai penerbangan”.

Bahkan di dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 Pasal 87 juga disebutkan tentang syarat orang yang akan beribadah umrah. Disebutkan bahwa setiap orang yang akan menjalankan Ibadah Umrah harus memenuhi persyaratan:

1. beragama Islam
2. memiliki paspor yang masih berlaku paling singkat 6 (enam) bulan dari tanggal pemberangkatan
3. memiliki tiket pesawat tujuan Arab Saudi yang sudah jelas tanggal keberangkatan dan kepulangannya
4. memiliki surat keterangan sehat dari dokter
5. memiliki visa serta tanda bukti akomodasi dan transportasi dari PPIU.

Baik UU Nomor 8 Tahun 2019 maupun PMA Nomor 5 Tahun 2021 mengatur bahwa perjalanan ibadah umrah menggunakan pesawat terbang. Tiket pesawat ke Arab Saudi pergi pulang harus tersedia sebelum berangkat. Standar pelayanan transportasi udara juga diatur secara rinci.

Perjalanan umrah menggunakan kapal laut saat ini belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Kemungkinannya masih terbuka dengan catatan melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2021.

Abdul Basir, Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua