Kolom

Puasa dan Keseimbangan Pendulum Kodrati Manusia

Apriyadi Wardoyo (pegawai pada Direktorat Pendidikan Agama Islam, Ditjen Pendidikan Islam)

Apriyadi Wardoyo (pegawai pada Direktorat Pendidikan Agama Islam, Ditjen Pendidikan Islam)

Selang beberapa hari lagi, umat Islam di seluruh dunia akan menghadapi satu momen istimewa, yaitu bulan suci Ramadan. Bulan yang di dalamnya, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Sumber-sumber otoritatif Islam menyebutkan beberapa keutamaan bulan suci Ramadan, di antaranya bulan diturunkan Al-Qur’an, bulan dilipatgandakan ganjaran amal kebaikan, dan bulan pengampunan.

Berkenaan dengan puasa, Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Sabilal Muhtadin menjelaskan, bahwa puasa (shaum) memiliki makna menahan diri (imsak) dari segala sesuatu yang membatalkannya, mulai terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Pengertian puasa yang dikemukakan al-Banjari merupakan terminologi yang populer dalam khazanah fikih Islam.

Senada dengan al-Banjari, Nawawi al-Bantani dalam Maraqil Ubudiyah mengajukan satu definisi esoterik tentang hakikat puasa, yakni menahan seluruh anggota badan dari hal-hal yang dibenci oleh Tuhan. Pendapat al-Bantani disandarkan pada kandungan surat al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan berpuasa adalah membentuk insan yang bertakwa.

Dari keterangan dua ulama tersebut, kita dapat menarik benang merah bahwa puasa berfungsi sebagai pengendali dorongan-dorongan laten pada diri manusia. Energi vitalitas yang menjadikan manusia hidup, namun di saat bersamaan ia juga dapat membinasakan bila dieksploitasi secara berlebihan.

Sebagai ilustrasi, kebutuhan makan dan minum merupakan kebutuhan mendasar untuk menyokong kehidupan. Kebutuhan ini bersifat naluriah, tidak bisa dinafikan dari kehidupan manusia itu sendiri. Akan tetapi, aktivitas makan dan minum bisa pula merusak tubuh jika pemenuhannya melampaui batas dari apa yang diperlukan.

Pesan-pesan kenabian seperti “berhenti makan sebelum kenyang” atau “gunakan perut sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafas” mengindikasikan pentingnya menjaga keseimbangan. Adagium tersebut sejalan dengan nalar rasional yang dibuktikan melalui pelbagai hasil riset di bidang kesehatan maupun kedokteran. Orang yang berlebih-lebihan dalam makan dan minum berpotensi lebih besar menderita penyakit dibandingkan orang yang menjaga keseimbangan dalam makanan dan minumannya.

Dua Sisi Kodrati Manusia

M. Quraish Shihab dalam karya tafsirnya, al-Misbah, menginterpretasikan kandungan surat asy-Syams ayat 7-8 dengan menyatakan bahwa Tuhan memberi ilham kepada insan berupa potensi dan kemampuan pada jiwanya untuk mengetahui jalan kedurhakaan dan ketakwaan. Manusia diberi kebebasan untuk memilih di antara dua jalan itu.

Quraish juga mengungkapkan, ilham atau intuisi kerap datang tanpa diduga-duga dan manusia tidak memiliki kuasa atas datang dan perginya intuisi tersebut. Dorongan semacam itu ada pada setiap insan dengan kekuatan yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Kita kembali pada ilustrasi makan dan minum. Apakah zat yang dimakan atau diminum itu halal atau haram, takarannya melebihi batas atau sewajarnya, semua itu bergantung pada sejauh mana kualitas intuisi yang dimiliki seseorang. Manusia yang gagal memanfaatkan potensi intuisinya secara benar cenderung tidak peka terhadap entitas yang dapat membinasakan dirinya sendiri.

Teori kitab suci yang termaktub dalam surat asy-Syams ayat 7-8 dapat kita elaborasi dengan perspektif lain yang paralel dalam konteks dimensi universalitasnya. Ide keseimbangan dalam filsafat tradisional Tiongkok misalnya, mengenal konsep Yin dan Yang untuk menggambarkan harmonisasi yang menjadi karakter alam semesta, termasuk manusia.

Simbol Yin merupakan perwakilan sesuatu yang bersifat pasif, air, dingin, lembut. Sebaliknya, simbol Yang merepresentasikan sesuatu yang bersifat aktif, api, panas, dan keras. Dalam diri manusia, Yin dan Yang saling berlawanan sekaligus saling membutuhkan atau melengkapi. Konsepsi tersebut dapat kita temukan dalam narasi kitab suci, khususnya pada surat Shad ayat 71-72. Kedua ayat memberi informasi bahwa proses penciptaan manusia melibatkan dua unsur dominan yang satu sama lain saling berbeda tabiatnya, yakni unsur tanah dan unsur ruh.

Sayyid Quthb mengutarakan dalam Fi Zilal al-Qur’an, bahwa keberadaan unsur tanah pada diri manusia mengisyaratkan dekatnya jiwa dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan hawa nafsu dan pemenuhannya. Sedangkan unsur ruh berkenaan dengan apa yang dianggap suci, bersih, baik, taat, dan takwa. Dengan kata lain, unsur tanah dalam proses penciptaan manusia melambangkan keberadaan karakter Yang dan unsur ruh pada penciptaan manusia menunjukkan eksistensi karakter Yin.

Puasa dan Harmonisasi Unsur Penciptaan

Baik unsur tanah maupun unsur ruh tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Manusia membutuhkan hawa nafsu untuk bertahan hidup, melakukan regenerasi, membangun perekonomian, dan lain sebagainya demi kelangsungan hidup di dunia. Di samping itu, manusia juga membutuhkan nilai-nilai kebajikan, kebersihan, keteraturan, yang bersandar pada semangat spiritualitas.

Dengan navigasi nilai-nilai transenden, ekspresi manusia untuk bertahan hidup tidak sekedar menjadi pelampiasan hawa nafsu belaka. Pada klimaksnya justru bisa membawa manusia pada titik terendah, bahkan lebih rendah dari binatang. Puasa dalam hal ini, merupakan instrumen yang dapat menyeimbangkan kembali kedua unsur penciptaan yang mengalami disharmoni.

Selama sebelas bulan, rasanya tidak berlebihan jika kita akui kehidupan ini lebih banyak disibukan dengan urusan duniawi yang menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Teramat sulit bagi diri untuk dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhani secara seimbang. Dalam kondisi demikian itu, ritme kehidupan kita bergerak ke arah terlalu Yang. Karenanya kita membutuhkan keberadaan elemen Yin untuk mendinginkan dan menemukan titik kesetimbangan baru.

Puasa di bulan Ramadan laiknya “rest area” dalam sebuah perjalanan panjang. Puasa mengajak kita sejenak berkontemplasi untuk menemukan kembali kekuatan ruh yang selama ini kurang berkembang. Sebagaimana ungkapan Quraish Shihab dalam kanal Youtube Shihab & Shihab, bahwa puasa tidak membunuh atau mematikan hawa nafsu melainkan mengendalikannya. Dengan berpuasa, pendulum Yin dan Yang kodrati manusia “dipaksa” mengalun pada alur semestinya.

Apriyadi Wardoyo (pegawai pada Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua