Kolom

PMB PTKIN dan "Trigger" Gus Men

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)

Selalu saja ada yang mengandung kebaruan dari setiap lontaran gagasan Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qoumas, saat berbicara pada sebuah event. Tak terkecuali saat peluncuran Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PMB-PTKIN) tahun 2024. Gus Men memulai dengan kritik yang mendasar, sekomitmen apa warga Kementerian Agama dari segala sisi untuk memajukan pendidikan yang ada di bawah naungannya, khususnya lembaga pendidikan tinggi.

Menurut Gus Men, mimpi untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang kompetitif harus dimulai dari terbangunnya "sense of belonging," tumbuhnya rasa memiliki pada lembaga pendidikan tersebut. Kita ingin memajukan lembaga pendidikan, sementara dari internal kita sendiri tidak meyakini potensi keunggulan dari lembaga pendidikan yang dikelolanya.

Kritik Gus Men tersebut menohok banyak di antara kita, tak terkecuali saya yang belum memasukkan dua anak saya di lembaga pendidikan yang dibina oleh Kemenag. Meskipun masalah yang ditunjuk Gus Men sudah sering diangkat sebagai otokritik, seruan terkini Gus Men tidak terlepas dari kepeduliannya bahwa lembaga pendidikan yang dikelola oleh Kemenag saat ini, mulai dari jenjang terendah sampai perguruan tinggi, sudah sangat bisa diandalkan. Seruan Gus Men untuk menguatkan, bahwa saatnya keluarga besar Kemenag semakin menunjukkan keberpihakannya.

Gus Men ingin memastikan bahwa untuk membangun kutub magnet, mereka yang terdekatlah yang harus "tertarik" terlebih dahulu. Tanpa tertariknya yang terdekat, mereka justeru akan memblok elemen lebih jauh untuk mendekat pada kutub magnet tersebut.

Kritik kedua Gus Men adalah perlunya memacu inovasi dalam menjadikan PTKIN sebagai pilihan pertama calon mahasiawa baru. Gus Men mencoba membandingkan pola rekrutmen mahasiswa di perguruan tinggi negeri umum yang sangat variatif, misalnya di beberapa perguruan tinggi yang memberi afirmasi khusus bagi mereka yang pernah menjadi ketua dan sekertaris OSIS di sekolahnya.

Apa yang disampaikan Gus Men ini ibarat umpan untuk calon input yang memilki kualitas untuk menjadikan PTKIN sebagai pilihan utama. Dengan hadirnya ragam afirmasi seperti itu, PTKIN lebih awal mengambil langkah untuk menarik perhatian sekaligus apresiasi kepada calon mahasiswa, bukan hanya berharap pada lulusan madrasah tapi juga dari sekolah umum.

Menurut Gus Men, tidak boleh lagi PTKIN hanya berbangga karena meningkat jumlah mahasiswa barunya dibanding sebelumnya. Saatnya PTKIN berbangga dengan menjadikan program studinya sebagai pilihan pertama dari para pendaftar.

Dalam kaitan dengan gelitik Gus Men tersebut, perlu segera memikirkan langkah yang sedikit "nakal" dari pengambil kebijakan untuk membuat inovasi penerimaan mahasiswa baru, sebagai ikhtiar memperluas cakupan pendaftar pada PTKIN sebagai tujuan utama berlabuh.

Pertama, pada jalur penerimaan berdasar prestasi akademik, perlu ada improvisasi dari aturan yang ada sekarang. Makna prestasi akademik perlu diperluas sesuai dengan tuntutan era, misalnya penguasaan media sosial sebagai bagian dari penguasaan IT atau sebutlah sebagai digitalisasi akademik. Bila ini disepakati, siswa yang memiliki banyak "followers" media sosial dengan menjadi selegrams, youtubers, facebookers, atau ticktockers bisa dipersepsi sebagai sebuah prestasi karena menjadi pencapaian pada aspek IT dan sangat relevan untuk pengembangan citra akademik kampus nantinya dengan "kesaktian" viralisasi yang dimilikinya.

Ketika seorang siswa memiliki status tersebut sangat perlu diprioritaskan untuk direkrut pada jalur undangan, dengan memberikannya sejumlah "previlege", misalnya kebebasan memilih jurusan dan fasilitas beasiswa.

Kedua, perlunya lebih variatif dalam memaknai "afirmasi" pada penerimaan mahasiswa baru. Afirmasi tidak harus menunggu jalur mandiri, tapi afirmasi bisa diberlakukan pada setiap jalur. Afirmasi pada jalur undangan tentu sangat relevan karena jalur undangan sendiri sudah bermakna afirmasi. Pada jalur tes yang umumnya dipersepsi sebagai jalur murni, juga bisa diafirmasi dengan cara misalnya, yang memiliki nilai ujian kumulatif tertentu sudah bisa diluluskan bila yang bersangkutan memiliki bakat tertentu yang menonjol.

Artinya, baik pada jalur undangan maupun jalur tes, di mana siswa menjadikan perguruan tinggi tertentu sebagai pilihan pertama, PTKIN sudah memiliki sejumlah jurus untuk menggerakkan mereka memilih PTKIN sebagai pilihan utama.

Terakhir, dulu kita mengenal istilah "bebas tes" pada musim penerimaan mahasiwa baru, kurang lebih sama dengan istilah "jalur undangan" atau "jalur prestasi". Bagi saya, istilah bebas tes sangat merakyat, dan merangkum ragam prestasi, bukan hanya prestasi akademik murni. Saya tertarik dengan istilah ini, karena bila seseorang bebas tes selalu diikuti pertanyaan selanjutnya, kenapa dia bisa bebas tes? Menjawabnya: Karena dia rangking satu, atau dia Qari juara nasional, ata dia jago basket. Bila dikaitkan dengan sekarang, dia selegram terkenal, atau jebolan KDI.

Bila trigger Gus Men di atas ditindaklanjuti, bukan hanya inovasi pada upaya menarik perhatian mahasiswa berprestasi, tapi kita juga sudah membayangkan sebuah liga olahraga mahasiswa yang mapan di PTKIN, atau sebuah ajang bergengsi yang diminati, PTKIN idol. Namun jika saya memperhadapkan gagasan ini ke Gus Men, saya khawatir, beliau akan merespon: "Kembalikan terlebih dahulu kuliah anakmu di UIN".

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua