Kolom

Nilai-nilai Profetik Santri dalam Berpolitik

Thobib Al Asyhar, Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama DIKTIS

Thobib Al Asyhar, Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama DIKTIS

Pesta demokrasi 2024 tinggal beberapa saat lagi. Partai politik dan elemen masyarakat sibuk melakukan persiapan dengan berbagai ekspresi masing-masing. Dukung mendukung tokoh marak di permukaan. Baliho di pinggir-pinggir jalan, prapatan, dan tempat strategis dipenuhi foto wajah-wajah "penuh harap". Slogan-slogan melalui flayer dukungan calon di grup-grup WA muncul silih berganti.

Tidak kalah berisik, lini massa, khususnya media sosial ikut menambah ramai. Obrolan politik menjadi konsumsi di setiap sudut warung-warung kopi. Sajian berita politik di TV, Radio, dan media online nampak semakin agresif. Iklim politik plus analisis para pengamat di setiap sajian media menambah "panas" cuaca musim kemarau negeri ini yang sudah lama tidak turun hujan.

Secara faktual, politik kekuasaan tidak sepenuhnya menunjukkan nilai-nilai ideal. Saling jegal antar kawan, pengkhianatan, dan kemunafikan menjadi tradisi politik yang dinilai "biasa". Ya memang, tidak ada kawan abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan abadi. Teman, saudara, handai taulan bisa pecah karena politik. Bahkan tidak jarang, politik menjadi alat untuk "memberangus" lawan. Yang "halal" bisa menjadi "haram", dan yang "haram" bisa menjadi "halal".

Yang memprihatinkan, tidak sedikit politisi membawa "agama" yang suci ke ranah politik. Sebagian pihak "getol" banget menjadikan agama sebagai identitas politik, lalu digunakan untuk menekan dan "menyerang" lawan politik. Identitas agama memang benar-benar menjadi magnet massa, karena dapat "diframing" melalui klaim kebenaran sepihak yang menyentuh unsur-unsur keyakinan.

Sebagai negeri beragama yang berfalsafah Pancasila tentu hal seperti itu tidak boleh dibiarkan. Berpolitik seharusnya menjadi alat untuk meraih kekuasaan untuk menciptakan keadilan dan berbagi kesejahteraan kepada sesama. Kultur politik harus dibangun dari kesadaran terdalam bahwa berpolitik harus menjunjung tinggi etika. Moral-etis harus diletakkan di atas segalanya, agar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dirusak oleh ambisi-ambisi yang tak bernilai.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, berkali-kali mengingatkan kepada publik bahwa berpolitik jangan membawa-bawa agama sebagai identitas. Agama terlalu mulia ditunggangi untuk kekuasaan. Jika agama dijadikan alat politik dengan mengkavling nilai-nilai kebenaran sepihak pasti menjadi ancaman serius bagi bangsa dan agama itu sendiri. Pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 adalah contoh nyata betapa politik identitas berbasis agama yang digunakan saat itu telah "menyayat" persaudaraan kebangsaan.

Persatuan, keharmonian, dan kerukunan bangsa sempat terkoyak akibat ambisi brutus politik yang menggunakan agama sebagai tunggangan pragmatisme. Yang pasti, agama yang dijadikan "kendaraan" untuk meraih kekuasaan akan kehilangan makna-makna profetiknya. Saat agama --yang sejatinya sebagai sumber kebajikan-- "dibajak" untuk kepentingan politik berakibat petuah-petuahnya sekedar menjadi untaian kalimat indah tanpa makna.

Karena itu, di bulan Maulud Nabi bersamaan dengan peringatan Hari Santri Nasional (22 Oktober) ini menjadi momentum yang tepat untuk berintrospeksi, sejauhmana kita berpolitik selama ini. Khusus para politisi dan pendukungnya yang memiliki latar belakang santri, apakah cara-cara kita sudah sesuai dengan "fatsoen" berpolitik yang berpegang teguh pada akhlak Nabi yang telah diteladankan para founding fathers? Kita semua tentu mengenal betul sifat wajib Nabi yang sangat terkenal, yaitu shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh.

Pertama, sifat shiddiq yang diartikan jujur (honesty) merupakan sifat psikologis yang berhubungan dengan integritas. Rasulullah adalah manusia utama yang menjunjung tinggi kejujuran. Tidak pernah sekalipun Nabi berbohong untuk kepentingan pragmatis, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun saat beliau memegang kendali kekuasaan di Madinah.

Bagi Rasulullah, bersikap jujur dalam kehidupan sehari-hari adalah harga mati. Jujur adalah ciri moral manusia yang berbudi luhur dimana seseorang dengan karakter ini kemudian akan memiliki integritas, adil, setia, tulus, dan dapat dipercaya oleh orang lain. Dalam relasi antar umat beragama, nabi juga tetap menjunjung tinggi sifat kejujuran. Sehingga dalam sirah Nabawiyyah, kejujuran Nabi dikenal hingga seantreo jazirah Arab sejak kecil hingga Nabi wafat.

Kedua, sifat amanah, yang memiliki makna "dapat dipercaya". Sepanjang hidupnya, Nabi adalah orang yang dapat dipercaya sejak kecil saat mendampingi pamannya, Abu Thalib, berdagang sampai ke negeri Syam hingga beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul sampai rutup usia. Bagi Nabi, amanah adalah sebuah nilai kebajikan (virtue) yang harus dianut dan dijadikan pedoman oleh individu dalam berperilaku.

Amanah merupakan pilar utama akhlak (karakter) para nabi, yang diartikan sebagai orang yang memiliki komitmen, jujur, dan bertanggung jawab. Orang yang amanah adalah orang yang mampu menjalankan segala peran dan tugas yang diberikan kepadanya. Peran amanah sangat besar dalam kehidupan nanusia. Tanpa amanah kehidupan manusia akan hancur atau rusak, tidak ada saling rasa percaya, khianat dan rasa permusuhan.

Sifat amanah sangat dekat dengan konsep psikologi seperti kepercayaan (trust), terpercaya (trustworthiness), tanggung jawab, dan jujur. Namun terdapat beberapa hal yang membedakan antara amanah dengan konsep psikologi tersebut. Sebagai suatu nilai yang menjadikan rujukan dalam berperilaku, amanah menjadi penting diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak hanya itu, amanah menjadi fondasi kuat dalam relasi antar individu, organisasi, dan negara. Tanpa perilaku amanah, tidak ada kepercayaan dalam relasi interpersonal maupun organisasi, sehingga muncul perilaku khianat, korupsi dan tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, amanah memungkinkan manusia untuk menghilangkan kebodohan, ketidakadilan, pengkhianatan, dan sebagainya untuk menciptakan suasana yang lebih damai.

Ketiga, fathanah yang diartikan dengan "cerdas". Kecerdasan adalah syarat mutlak bagi seorang Nabi dan Rasul. Tidak dapat dibayangkan jika utusan Tuhan tidak mampu menangkap pesan-pesan-Nya, belum lagi harus menyampaikan kepada umatnya. Bagaimana pula ia harus mencari solusi atas semua penentangan, pertanyaan umat, dan kemampuan dalam mempertahankan misinya, membangun argumen serta komunikasi yang baik dalam berdakwah untuk mengajak umatnya ke jalan yang benar.

Tentu hanya orang yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang dapat menyelesaikan segala permasalahan hidup masyarakat yang patut menjadi Nabi dan Rasul. Dengan kepandaian dan kecerdasan, para Nabi dan Rasul mampu mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dari kaum yang mereka hadapi. Di sinilah urgensi sifat fathanah melekat dalam diri mereka yang memiliki misi besar mengubah keyakinan, tradisi, budaya, dan moral masyarakat yang lebih baik.

Keempat, tabligh yang artinya kemampuan retorik dalam menyampaikan pesan-pesan yang baik dan benar. Sifat tabligh include kepribadian Nabi dan Rasul, dimana mereka memiliki misi besar mengubah "warna" umatnya. Tabligh bisa juga diartikan sebagai kecerdasan verbal yang tidak dimiliki oleh setiap orang, karena faktanya banyak orang pintar yang tidak memiliki kecerdasan verbal.

Sifat tabligh adalah gabungan dari kecerdasan intelektual dengan kecerdasan verbal. Tidak semua yang memiliki kecerdasan intelektual memiliki kecerdasan verbal. Sebaliknya, tidak semua yang memiliki kecerdasan verbal memiliki kecerdasan intelektual. Sosok nabi dan Rasul memiliki semuanya, sehingga dapat mendukung tugas beratnya di muka bumi. Apalagi Nabi Muhammad saw, yang memiliki kelebihan sifat-sifat unggul di atas manusia umummny sehingga pesan-pesannya melampaui zamannya.

Bagaimana dengan konteks politik negero kita kekinian? Akankah nilai-nilai profetik yang menjadi watak santri relevan dengan dunia politik? Di sinilah ukuran kita dalam berpolitik. Praktik politik di tanah air, yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama harus menjadikan sifat-sifat profetik sebagai landasan moral berpolitik. Sifat jujur, amanah, fathanah, dan tabligh harus inheren dalam sifat dan sikap para politisi, calon pemimpin bangsa ini.

Selama warna dan perilaku politik di negeri ini masih kental dengan ketidakjujuran, pengkhianatan, saling serang, menikam dari belakang, dan perilaku yang kurang empatik bagi orang lain tidak akan membawa kesejahteraan dan keadilan bagi publik. Para pelaku politik, khususnya politisi patut mencontoh sifat-sifat Nabi dan juga keteladanan para santri dalam mengelola bangsa ini. Rasulullah adalah contoh konkrit bagaimana membangun masyarakat dan bangsa Madinah dengan akhlak mulia.

Tidaklah berlebihan bila Robert N Bellah, misalnya, menyebut masyarakat Madinah yang dibangun Nabi merupakan masyarakat modern, bahkan terlalu modern dimana pilar-pilar moral menjadi paku bumi peradabannya. Di wilayah Timur Tengah dan umat manusia saat itu seperti belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern berdasarkan etika dan tanggung jawab bersama melalui "Piagam Madinah" sebagai "Manifesto Politik" Nabi Muhammad. Wallahu A'lam.

Thobib Al Asyhar, Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama DIKTIS


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua