Kolom

Mendesain Jalan Lurus Modernisasi Pendidikan Pesantren

Dr. H. Anis Masykhur, S.Ag. MA (Kasubdit Pendidikan Kesetaraan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren)

Dr. H. Anis Masykhur, S.Ag. MA (Kasubdit Pendidikan Kesetaraan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren)

Tantangan perubahan zaman menuntut para pecinta pesantren untuk segera mendesain ulang langkah-langkah modernisasi yang hendak ditempuh. Ada beberapa prinsip yang tidak boleh terlepas—apalagi hilang—dari desain ini, yaitu eksistensi kiai, kitab kuning, masjid, dan pondok.

Perkembangan terakhir, sebagian aspek utama ini makin tergerus. Posisi kiai sebagai pemimpin spiritual tergerus fungsinya, karena kiai lebih banyak beraktifitas di luar pesantren dibanding menjagai para santrinya. Saat ini dikenal beragam tipologi “kiai”. Ada “kiai proposal” karena pimpinan pesantren lebih sibuk mencari bantuan untuk memperbaiki bangunan pesantrennya. Ada “kiai politik” karena pimpinan pesantren memanfaatkan karismanya untuk menjaring suara (vote getter) baik untuk dirinya sendiri atau orang lain; dan lain sebagainya.

Eksistensi kitab kuning juga makin tergantikan perannya oleh “kitab putih” bahkan kitab-kitab terjemahan. Begitu pula dengan eksistensi pondok, ada ancaman pergeseran fungsi menjadi sekedar asrama bagi santri yang sekolah formal. Jadwal pondok mengikuti agenda sekolah formal. Maka tidak aneh jika kegiatan pesantren menjadi kegiatan ‘sambilan’ yang tidak mempunyai daya tawar.

Padahal pondok adalah medium pembinaan mental secara mandiri di bawah supervisi dan kontrol seorang kiai. Di pesantren, ada proses pembentukan karakter utama seorang santri sejati, yang bercirikan kemandirian, keikhlasan, kesederhanaan, ke-tawadhu’an, keikhlasan dan nilai-nilai mulia lainnya. Nilai-nilai mulia tersebut tidak ada dalam kurikulum tertulis pondok pesantren namun tertuang sebagai konsensus bersama bahwa untuk menjadi santri, nilai-nilai tersebut harus tertanamkan. Sehingga setiap peserta didik mengaku dirinya sebagai santri, maka otomatis nilai-nilai tersebut melekat pada dirinya.

Ini tentu berbeda dengan model pendidikan modern yang mengharuskan serba tertulis dan formalitas. Akibatnya pendidikan tereduksi menjadi sekedar memenuhi tuntutan formalitas daripada yang sebenarnya. Porsi untuk segala “tetek bengek” yang berbau formalitas menjadi lebih banyak dibanding hakikat dari pendidikan. Dan tampaknya itu yang terjadi dan cukup dominan dalam mewarnai proses pendidikan formal. Meski sebenarnya formalitas itu tidak sepenuhnya buruk. Namun ketika pengelola pendidikan terjebak pada sisi ini, karena dimingi-imingi dengan janji peningkatan kesejahteraan, maka kadang tugas utama menjadi terabaikan.

Kalau kita memperhatikan regulasi pendidikan belakangan, seorang guru lebih banyak dituntut untuk memenuhi aspek formalitas pendidikan dibanding tuntutan melahirkan lulusan yang bermutu. Kurikulum yang dianut telah memaksa para guru untuk mengejar sisi formalitas ini. Begitu pula dengan program sertifikasi. Guru dikondisikan untuk lebih memperhatikan aspek ini dibanding aspek yang sejati. Tuntutan dan pemintaan adanya sebuah tolok ukur menjadi icon utama dalam setiap tahap kegiatan dan proses pembelajaran. Karena hal itu yang menentukan akan membaiknya kesejahteraannya. Sungguh naïf.

Pesantren sebagai Subsistem?

Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi harapan baru bahwa pesantren dapat menjaga eksistensi dan orisinalitasnya. Sebelum ada UU tersebut, regulasi pendidikan nasional sampai memposisikan pesantren sebagai subsistem pendidikan nasional. Yang dimaksud dengan subsistem adalah bahwa pendidikan pesantren diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional. Karena itu ia tetap harus mengikuti sistem induknya. Anehnya, status subsistem ini ternyata dibunyikan dalam regulasi di bawahnya. Jika demikian, maka pendidikan pesantren akan menjadi bagian kecil dari sistem pendidikan di Indonesia dan mengikuti paradigma yang ada di balik sistem pendidikan nasional.

Sebagai akibatnya, tidak aneh jika pendidikan pesantren yang kini hampir sebagian besar berisikan madrasah formal dan di dalamnya banyak para guru, juga makin terseret ke arah serba formalitas ini. Pesantren banyak yang ikut arus tersebut—salah satunya dengan—menyelenggarakan pendidikan berbiaya mahal. Padahal, dalam sejarahnya pesantren adalah pendidikan yang berbiaya murah. Karena pesantren tidak tergiur dengan kelengkapan infrastruktur.

Ada kritik bahwa pendidikan menjadi penyebab kemiskinan. Karena besarnya dana yang tersedot ke pendidikan, sampai orang tua peserta didik harus merogoh koceknya lebih dalam. Tidak jarang, untuk sekolah mereka harus menggadaikan, bahkan menjual tanah yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian. Dengan harapan, kelak putra-putrinya menjadi orang yang “sukses”. Sukses dalam makna yang—lagi-lagi—sangat bersifat materialistis.

Pesantren yang mengemban fungsi pendidikan, sosial dan dakwah juga tereduksi. Perhatikan potongan salah satu butir pasal 26 ayat (1) PP No. 55 Tahun 2007. “Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.”

Pesantren hanya dipahami sebagai lembaga pendidikan agama. Padahal perannya selama ini cukup luas, yang menjangkau segala aspek. Nah, pesantren harus mampu keluar dari problem sistem pendidikan yang sudah ada.

Mempertahankan kondisi pesantren seperti apa adanya memang bisa menurunkan daya tarik. Namun mengikuti sistem yang ada juga justru makin tidak membuat menarik pendidikan pesantren. Akan sulit pesantren dapat melahirkan ulama sekaliber Imam Nawawi Al-Bantani, Syech Arsyad Al-Banjari, Syech Mahfudz At-Tarmasy, Syech Hasyim Asy’ari, Abu Khathib As-Syambasyi, Syech Yusuf Al-Makassary, dan lain sebagainya. Para ulama tersebut telah mengharumkan nama nusantara di dunia International pada zamannya. Tanah Jawi menjadi pusat peradaban terutama di Asia Tenggara.

Jika elemen dan pemerhati pesantren tidak bisa menawarkan sistem sandingan atau bertahan sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional tanpa modifikasi, maka pesantren [bisa jadi] akan terkooptasi dan perannya semakin tergerus. Ini—sekali lagi—membahayakan pendidikan pesantren. Kalaupun terpaksa sebagai subsistem, pesantren harus menempuh jalan modifikasi.

Jalan modifikasi dalam subsistem bisa ditempuh dengan membuat regulasi yang memang tanpa mencampuri urusan internal pengelolaan pendidikan pesantren. Pesantren tetap menjadi istimewa tanpa harus mengikuti regulasi induk yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (4) UU No. 20 Tahun 2003, definisi pesantren yang belum jelas sebenarnya sangat mendukung untuk memposisikan elastisitas pendidikan pesantren vis a vis sistem pendidikan nasional. Maka regulasi di bawahnya, seyogyanya memposisikan ketidak jelasan tersebut agar menjadi jelas tanpa harus ‘mengobrak-abrik’ sisi dalam pesantren, serta tidak mengacu sistem pendidikan yang sudah ada.

Institusi yang membawahi pembinaan pesantren, dalam hal ini Kementerian Agama, harus mampu mensupport dalam mencipta sistem sendiri. Apalagi jika maksud regulasi tersebut hanya mampu memberikan payung hukum terutama jika hanya sekedar payung hukum bagi pemerintah dalam memberikan hak warga negaranya, yakni mendapatkan pendidikan yang layak. Jika regulasi yang ada cenderung menerjemahkan aturan menjadi lebih rigid, maka di sini akan menghawatirkan yang secara perlahan akan mengkooptasi pesantren.

Pesantren sebagai Sistem Pendidikan Sandingan

Apa yang dimaksud dengan sistem pendidikan sandingan? Perlu dipahami bahwa paradigma pendidikan pesantren tidak didirikan dengan tujuan untuk mengisi lapangan kerja yang disediakan oleh perusahaan atau perkantoran sebagaimana pendidikan pada umumnya. Pesantren murni bertujuan keilmuwan.

Kalau kita membandingkan sejarah awal adanya pendidikan—yang kemudian diserap sebagai pendidikan—nasional dengan pendidikan pesantren, jelas keduanya mempunyai paradigma yang berbeda. Dua sistem pendidikan ini tampak tidak bisa disatukan dalam satu sistem yang disebut sistem pendidikan nasional. Persoalannya, mungkinkah pesantren bisa menjadi sistem "alternatif" di samping sistem pendidikan yang ada? Mungkinkah dalam sebuah negara ada dua sistem pendidikan nasional? Mengapa tidak.

Belajar dari China, dalam bidang ekonomi mereka menganut dua sistem perekonomian, yakni sistem ekonomi sosialis dan ekonomi kapitalis. Padahal perekonomian termasuk jantung kehidupan negara. Karena spirit untuk menyatukan China ini, maka wilayah-wilayah seperti Hongkong, Macau dan Taiwan diizinkan untuk menganut prinsip ekonomi kapitalisnya. Begitu pula dalam pertahanan wilayah atau pengadaan tentara.

Dari pengalaman tersebut, tentunya di Indonesia sangat memungkinkan dua sistem pendidikan bisa berdampingan, yakni sistem pendidikan yang ada saat ini dan sistem pendidikan pesantren. Yang jelas pesantren harus berdiri sendiri. Sebab, selama ini dunia pesantren dianggap sebagai icon civil society. Civil society adalah mitra yang senantiasa mengembangkan perannya sebagai penyeimbang dan pemberi masukan kepada negara. Di posisi inilah peran pesantren berdiri selama ini.

Harus dipahami, bahwa keberadaan sistem sendiri jangan dilihat secara berhadapan dengan sistem yang sudah ada. Sistem ini harus dilihat sebagai sistem yang melengkapi sistem yang ada. Karena jika tidak, maka sejarah bisa jadi akan terulang lagi. Pesantren dianggap sebagai ‘rival’ dan pada akhirnya akan terkucilkan.

Jadi harapan ke depan, jika pesantren tetap dengan semangat dan paradigma semula, hal ini adalah sebuah kemajuan revolutif di bidang pendidikan. Yang disesalkan adalah bahwa pendidikan pesantren selama ini dianggap sebagai ‘the other’, sehingga gerakan dan aksinya senantiasa dicurigai, yang kemudian berakhir dengan pengebirian. Walhasil, tidak aneh jika berbagai kebijakan terasa timpang. Pesantren dianaktirikan dalam berbagai aspek.

Jika aroma kecurigaan ini bisa diminimalisir, bahkan kalau bisa dihilangkan, maka bagaimanapun dan apapun keadaannya, para peserta didik yang belajar di pesantren jelas mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam arti, ada jaminan pemerintah terhadap akses memperoleh pendidikan yang murah dan berkualitas. Wallau a’lamu bis shawab.

Dr. H. Anis Masykhur, S.Ag. MA (Kasubdit Pendidikan Kesetaraan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua