Kolom

Membongkar Mitos Stagnasi: Tradisi Syarah-Hasyiyah Sebagai Manifestasi Kreativitas dan Dialektika dalam Peradaban Islam Nusantara

Muhammad Fauzinudin Faiz

Muhammad Fauzinudin Faiz

Dalam perjalanan intelektual Islam pasca-klasik, kita disuguhi oleh tradisi kesarjanaan yang dominan dalam format karya dengan komentar berangkap, atau yang dikenal dengan istilah Syarah dan Hasyiyah (multi-layered commentaries). Namun, pandangan umum terhadap tradisi ini sering kali menempatkannya dalam konteks stagnasi, di mana kreativitas dianggap melemah, dan kegiatan intelektual terbatas pada reproduksi khazanah yang sudah ada. Argumen ini mencuatkan klaim bahwa tradisi penulisan kesarjanaan Islam pada periode ini hanya sebatas "komentar" atas beberapa karya otoritatif sebelumnya.

Nurcholis Madjid dan Jalaluddin Rakhmat mengembangkan pandangan ini dengan mengaitkannya dengan pembakuan Mazhab Fiqh, menuduh bahwa arus taklid telah membunuh kreativitas dalam tradisi kesarjanaan Islam. Bahkan, mereka menilai tradisi syarah sebagai aktivitas "pseudo-ilmiah" yang membuka pintu bagi kemungkinan stagnasi lebih lanjut, terutama dengan munculnya tradisi ḥāsyiah, yang merupakan "komentar" atas "komentar." Namun, klaim ini perlu dievaluasi karena terlalu membatasi diri pada konteks literatur Fiqh Islam, tanpa mempertimbangkan dinamika yang terjadi dalam disiplin keilmuan lain.

Studi yang melibatkan beberapa disiplin keilmuan, seperti Tafsir al-Qur'an, Hadis, Tasawuf, Filsafat-Logika, dan literatur lainnya, menunjukkan bahwa tradisi serupa juga terjadi dalam disiplin keilmuan lain. Argumentasi yang hanya berfokus pada konteks literatur Fiqh Islam terlalu tergesa-gesa dalam melakukan generalisasi. Pemikiran Madjid dan Rakhmat juga terbatas pada telaah tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks sosio-historis masing-masing literatur.

Dalam konteks ini, tulisan ini menjadi sebuah suplemen bagi beberapa kajian terkait, khususnya terhadap karya-karya yang dapat disebut sebagai commentary literature (syarah/hasyiyah) dalam konteks sejarah Islam Nusantara. Fokusnya jatuh pada kitab syarḥ yang berjudul Inārat al-Dujā Syarḥ Tanwīr al-Ḥijā Naẓm Safīnat al-Najā karya Muḥammad ‘Ali bin Ḥusain al-Mālikī al-Makkī. Kitab ini menjadi objek yang menarik karena bukan hanya mencerminkan kolaborasi internasional Ulama Nusantara dengan jaringan Ulama Hijaz pada awal abad ke-20, tetapi juga menghadirkan nuansa dialektis yang melibatkan pen-syarah dan penulis naẓm.

Keunikan karya ini, selain kolaborasi lintas negara, juga dapat ditemui dalam nuansa dialektis yang ada di dalamnya. Muḥammad ‘Ali bin Ḥusain al-Mālikī, guru ulama Jawi yang menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan persoalan keagamaan di Nusantara, memegang peran penting dalam karya ini. Inārat al-Dujā mencerminkan suasana keilmuan di Nusantara pada periode tersebut dan menjadi bukti kedekatan antara beliau dengan para murid Jawi.

Dengan menelusuri unsur-unsur intrinsik dalam kitab Inārat al-Dujā, tulisan ini bertujuan untuk memotret salah satu dinamika keilmuan Islam di Nusantara melalui lensa tradisi mensyarah kitab yang terjadi pada awal abad ke-20. Melalui pendekatan ini, kita dapat membongkar mitos stagnasi dan menggambarkan tradisi syarah sebagai manifestasi kreativitas dan dialektika yang berkontribusi pada peradaban Islam Nusantara.

Literatur Syarah dan Sejarah Intelektual Klasik
Pada tahun 1885 M, ketika Jerman menjajah wilayah Afrika Timur, Eduard Sachau, seorang Orientalis Jerman, terlibat dalam penerjemahan teks Hukum Islam dari Bahasa Arab ke Jerman. Tujuannya adalah memfasilitasi administrasi di wilayah baru yang baru saja ditaklukkan. Sachau memilih menerjemahkan teks Fiqh Syāfi’ī, yang diikuti mayoritas penduduk Afrika Timur. Salah satu karya yang diterjemah adalah Ḥāsyiah karya Ibrāhim al-Bājurī, seorang ulama al-Azhar yang meninggal tahun 1860 M. Sachau menyatakan bahwa kitab tersebut merupakan karya terkini dan paling otoritatif dalam Fiqh Syafi’i, klaim yang juga didukung oleh Snouck Hurgronje. Meskipun demikian, Ahmed El Shamsy mengkritisi klaim Sachau sebagai pandangan yang "rabun" atau kurang berfokus, karena melihat Fiqh Islam sebagai serangkaian diskursus kontemporer dalam literatur ḥāsyiah, bukan sebagai serangkaian "doktrin abad pertengahan" dalam karya fiqih klasik dari abad ke-8 hingga ke-12 M.

Masuk ke Abad Modern, studi Islam oleh orientalis dan sarjana Islam modernis-reformis menghadapi literatur pasca-klasik dengan pandangan yang skeptis. Literatur ini dianggap tidak orisinal, stagnan, dan hanya mengulangi yang sudah ada. Namun, dalam Era Post-modern, kajian literatur Islam pasca-klasik mengalami dekolonialisasi, memungkinkan studi berjalan secara proporsional dalam bingkai hermeneutis.

Tidak tepat jika menganggap diskursus dalam commentary literature sebagai sesuatu yang stagnan. Literatur ini seringkali mengandung unsur kritis-dialektis. Sejumlah literatur syarḥ dan ḥāsyiah tidak hanya ditulis untuk melengkapi penjelasan, tetapi juga untuk mengkritisi dan memverifikasi. Contohnya adalah studi Robert Wisnovsky tentang komentar pasca-klasik atas kitab al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt karya Ibn Sīnā, yang melibatkan aktivitas penafsiran dan verifikasi atas gagasan Ibn Sīnā sendiri.

Para sarjana yang mengkaji secara hermeneutis mulai menyadari khazanah yang terkandung dalam commentary literature. Literatur ḥāsyiah Fiqh, misalnya, tidak hanya berisi muatan lokalitas, tetapi juga informasi terkait perkembangan sosio-kultural umat Islam pasca-Klasik di berbagai belahan dunia (Islamicate world). Ahmad El Shamsy menekankan bahwa literatur ḥāsyiah Fiqh tidak bisa hanya dilihat sebagai literatur yang stagnan; sebaliknya, ia menciptakan budaya pembacaan di mana seseorang dapat mendekati teks sebagai suatu pernyataan yang dapat dipahami secara independen, sekaligus memiliki pemandu otoritas. Dengan demikian, commentary literature perlu ditempatkan secara proporsional sebagai bagian integral dari dinamika sejarah intelektual Islam.

Inārat al-Dujā Syarḥ Tanwīr al-Ḥijā Naẓm Safīnat al-Najā: Manifesto Syarah Kreatif, Tidak stagnan
Sejalan dengan popularitas kitab Safīnat al-Najā, komentar yang menonjol atas karya tersebut adalah Inārat al-Dujā, yang merupakan hasil karya Muḥammad ‘Ali bin Husain al-Mālikī al-Makkī, seorang mufti di Mekah pada abad ke-20. Tulisan ini adalah syarḥ (komentar) atas Tanwīr al-Ḥijā Naẓm Safīnat al-Najā, yang ditulis oleh KH. Aḥmad Qusyairī bin Ṣiddīq al-Lāsimī al-Fāsuruwāni. Inārat al-Dujā selesai pada tahun 1933 M/1351 H, delapan tahun setelah Tanwīr al-Ḥijā selesai pada tahun 1925 M/1343 H.

Muḥammad ‘Ali bin Husain al-Mālikī al-Makkī, lahir di Mekah pada tahun 1870 M/1287 H, meninggal pada tahun 1949 M/1368 H, berasal dari keluarga ulama Maghrib di Maroko. Yatim sejak usia lima tahun, ia diasuh oleh saudaranya, seorang mufti Maliki di Mekah. Menempuh pendidikan di al-Azhar, Mesir, dan kemudian menjadi pengajar di sana, al-Mālikī kemudian hijrah ke Mekah atas anjuran gurunya. Kiprah keilmuannya mencakup Fiqh Mazhab Maliki, Syafi’i, dan hadis dari berbagai ulama terkemuka. Sebagai mufti Malikiyyah, ia dikenal adil dan bijak dalam pemberian fatwa serta terlibat dalam berbagai lembaga keagamaan dan pemerintahan di Arab Saudi.

Tanwīr al-Ḥijā, karya berisi 312 bait syair, dikarang oleh KH. Aḥmad Qusyairī bin Ṣiddīq al-Lāsimī al-Fāsuruwāni (Kakak dari KH. Achmad Siddiq & KH. Mahfudz Siddiq, Jember), lahir di Sumber Girang, Rembang, pada tahun 1894 M/1311 H. Pendidikan KH. Aḥmad Qusyairī melibatkan beberapa pesantren di Jawa, termasuk di Bangkalan Madura, dan perjalanan studi ke Mekah. Ulama besar ini tidak hanya dikenal sebagai penulis syair Bahasa Arab tetapi juga sebagai tokoh agama yang aktif dalam penyebarluasan Islam di Jawa Timur. Karya Tanwīr al-Ḥijā memperkaya Safīnat al-Najā dengan penambahan materi terkait akidah, haji, umrah, dan tasawuf.

Dalam konteks sejarah keilmuan Islam Nusantara abad ke-20, Inārat al-Dujā dan Tanwīr al-Ḥijā mencerminkan kontribusi signifikan dari dua tokoh yang memperkaya dan melanjutkan warisan keilmuan Islam di Nusantara. Keseluruhan, keduanya menghadirkan dimensi intelektual dan estetis yang memperkaya pemahaman terhadap Safīnat al-Najā dan Fiqh Mazhab Syafi’i di kalangan santri Tanah Jawa pada masa tersebut.

Dalam tradisi Islam, salah satu bentuk transmisi pengetahuan yang signifikan adalah melalui jaringan keilmuan yang terbentuk melalui hubungan guru dan murid. Di Nusantara, terutama sejak abad ke-17 M, pelajar atau murid Jawi telah banyak mengejar ilmu ke Timur Tengah, khususnya wilayah Hijaz (Mekah-Madinah), dianggap sebagai pusat keilmuan Islam yang sangat berotoritas. Tempat ini menjadi pangkalan utama pertemuan umat Muslim dari seluruh dunia, menciptakan pusat intelektual Islam yang menarik bagi berbagai kalangan. Mesjid al-Haram dan Nabawi menjadi pusat kegiatan intelektual utama, namun seiring waktu, madrasah dan ribat menjadi lembaga formal yang mewadahi pembelajaran. Madrasah al-Ghiyasiyyah, misalnya, membagi kelas Fiqh berdasarkan empat Mazhab, menunjukkan tingkat formalitas lembaga pembelajaran di Haramain. Ulama yang mengajar di sana sering diminta untuk memberikan fatwa tertulis atas pertanyaan dari seluruh dunia Muslim.

Pada abad ke-17, fatwa dari Mekah terkait Sultanah Kamalat-Shah mengenai kepemimpinan perempuan memperlihatkan pengaruh ulama di Haramain dalam urusan keagamaan di Nusantara. Guru di Haramain sering menulis buku khusus sebagai jawaban atas pertanyaan para murid Jawi, seperti yang terlihat pada kitab Ithaf al-Zaki karya Ibrahim Hasan al-Kurani al-Syahrazuri. Memasuki abad ke-19 dan 20, tradisi korespondensi antara murid Jawi dan guru Haramain tetap berlanjut, dengan fokus kini lebih pada Fiqih. Korespondensi antara Muhammad ‘Ali al-Maliki, seorang guru di awal abad ke-20, dengan KH. Ahmad Qusyairi al-Fasuruwani dan murid Jawi lainnya mencerminkan perubahan ini. Al-Maliki menulis kitab Bulugh al-Umniyah fi Fatawa Nawazil al-‘Asriyyah sebagai respons terhadap pertanyaan dari murid Jawi, menggambarkan pergeseran fokus ke masalah Fiqih.

Kitab Inarat al-Duja, yang disyarahkan oleh al-Maliki atas permintaan KH. Aḥmad Qusyairī, menunjukkan kolaborasi internasional dalam konteks keilmuan Islam Nusantara. KH. Aḥmad Qusyairī secara khusus meminta penjelasan al-Maliki untuk memperjelas Tanwir al-Hija bagi para murid Jawi. Korespondensi ini, meskipun waktu pastinya belum diketahui, menunjukkan keakraban dan hubungan erat antara al-Maliki dan KH. Aḥmad Qusyairī serta antusiasme murid Jawi terhadap karya-karya mereka.

Kitab Inarat al-Duja, sebuah syarh atau komentar terhadap 312 bait syair, menghadirkan pemahaman analitis yang mendalam. Seperti syarh pada umumnya, al-Maliki menganalisis setiap kata atau kalimat dalam syair secara analitis. Sebagai contoh, ia membahas syarat-syarat sahnya ghusl dan wudhu, menekankan aspek-aspek seperti Islam, pemisahan, dan kebersihan.

Dalam beberapa bagian, al-Maliki menambahkan catatan penting, seperti tanbih, tatimmah, faidah, yang berkisar pada isu-isu Fiqh Islam, hikayat, dan lainnya. Materi utama Inarat al-Duja bersumber dari berbagai karya dan tokoh Fiqh yang dianggap otoritatif, seperti Hasyiyah al-Bajuri, Hasyiah al-Syarqawi, Fath al-Mu'in, dan Nihayat al-Muhtaj. Al-Maliki juga mengutip pendapat ahli bahasa, seperti al-Zamakhsyari, untuk menjelaskan makna kata atau kalimat tertentu. Fitur utama dalam materi al-Maliki adalah penjelasan linguistik dan tafsir kata-kata sulit sebelum menguraikan maksud dari suatu syair. Dalam analisisnya, ia menunjukkan deskripsi komprehensif dengan melakukan telaah komparatif dari berbagai sumber, kadang-kadang hanya mencantumkan beberapa pendapat berbeda dan melakukan seleksi ketat (tarjih).

Salah satu keunikan Inarat al-Duja adalah penulisnya, al-Maliki, yang dikenal ber-mazhab Maliki, tetapi menulis syarh terhadap kitab Syafi'iyyah. Ini mencerminkan dinamika keberagamaan di Haramain pada abad ke-19 dan 20, di mana nuansa keberagamaan menjadi kosmopolit dalam wacana yurisprudensi. Al-Maliki, sebagai mufti Maliki, menulis kitab Fiqh Syafi'i dengan profesional, menggunakan sumber-sumber otoritatif dalam mazhab tersebut. Dalam analisisnya, al-Maliki menggunakan perspektif komparatif, membandingkan pandangan dari empat Imam Mazhab. Ini terlihat dalam kajian hukum tahlilan kematian dalam kitab Bulugh al-Umniyah. Meskipun menggunakan pendekatan Syafi'iyyah, ia tetap mempertimbangkan pandangan Mazhab Maliki.

Dalam konteks keberagamaan di Haramain, al-Maliki menunjukkan bahwa Mazhab Fiqh tidak lagi menjadi pembatas yang kaku, dan keempat Mazhab dihormati dan dipelajari di berbagai madrasah. Pilihan keberagamaan diperlakukan sejajar, memperkuat konsep kesetaraan antar-Mazhab. Sebagai tambahan, KH. Aḥmad Qusyairī memberikan istidrak atau ralat terhadap komentar al-Maliki, khususnya dalam pelafalan kalimat syahadat. Hal ini mencerminkan dialog dan pertukaran pandangan dalam dinamika wacana keilmuan Islam di Haramain.

Inarat al-Duja, dengan keunikan dan dinamikanya, menjadi jendela yang memperlihatkan kompleksitas dan keberagaman pemikiran di kalangan ulama pada masa itu. Hemat penulis, setidaknya ada trilogi Transformasi yang dapat digali dari Safinat al-Naja-Tanwir al-Hija-Inarat al-Duja. Pertama, Dimensi Pendidikan dalam Safinat al-Naja. Kitab Safinat al-Naja oleh Salim bin Sumayr al-Hadrami bukan sekadar teks Fiqh biasa; sebaliknya, ia menandai transformasi dari literatur komentari ke teks madrasah yang diperuntukkan bagi pemula dalam Mazhab Syafi'i. Seiring perkembangan lembaga pendidikan di dunia Islam, terjadi pergeseran dari komentar literatur menuju teks praktis yang ringkas. Khususnya, dalam konteks transmisi pengetahuan Islam yang meluas di Nusantara, kebutuhan akan buku seperti Safinat al-Naja menjadi esensial. Karya ini, dengan isu-isu Fiqh yang elementer, menjalankan fungsi pedagogis yang signifikan, cocok untuk para pelajar Muslim yang baru memasuki pemahaman Fiqh Syafi'i.

Kedua, Estetika Sya'ir dan Pribumisasi dalam Tanwir al-Hija. Transformasi Safinat al-Naja menjadi syair oleh KH. Aḥmad Qusyairī, seperti dalam Tanwir al-Hija, mencerminkan makna baru dalam konteks edukasi dan indoktrinasi Islam. Tanwir al-Hija merupakan upaya "membumikan" Safinat al-Naja dalam realitas Nusantara. Pilihan syair sebagai medium menunjukkan adanya resepsi estetis di kalangan pelajar Nusantara. Syair ini tidak hanya mudah dihafal, tetapi juga dapat dilantunkan dengan berbagai melodi. KH. Aḥmad Qusyairī mengakui bahwa Tanwir al-Hija menjadi favorit di Nusantara. Hal ini tergambar dalam bait syair yang menyatakan bahwa syair ini bermanfaat untuk anak-anak di Jawa dengan berharap pada pertolongan dan kekuatan Tuhan.

Ketiga, Pencarian Panduan Otoritatif dalam Inarat al-Duja. Permintaan KH. Aḥmad Qusyairī kepada al-Maliki untuk mensyarahi karyanya mencerminkan dinamika keilmuan Islam pada masanya. Inarat al-Duja, sebagai syarah Tanwir al-Hija, menunjukkan kebutuhan akan klaim otoritas. Kolaborasi ini memiliki makna teologis dan sosio-historis; mencari panduan otoritatif. Penulisan syarh atau hasyiah dalam konteks sosio-historis bertujuan menjaga transmisi ilmu keagamaan sambil mempertahankan otoritasnya. Kutipan dari ulama dan karya yang dianggap otoritatif menjadi wajar sebagai upaya mempertahankan otoritas suatu karya atau wacana.

Meskipun beberapa menganggapnya sebagai masa stagnasi, literatur syarh dan hasyiah tetap memuat unsur dialektis. Hal ini mencerminkan dinamika sejarah intelektual Islam Nusantara di mana karya dianggap memiliki otoritas tinggi tetapi tetap terbuka untuk dikritisi. Inarat al-Duja oleh al-Maliki dan verifikasi KH. Aḥmad Qusyairī atas komentarnya menjadi bagian dari sejarah intelektual Islam Nusantara yang penuh dinamika, melibatkan kolaborasi internasional antara ulama Nusantara dan Mufti di Mekah.

Muhammad Fauzinudin Faiz (Dosen UIN KH Achmad Shiddiq Jember & Editor Buku “Agama dalam Konstitusi RI: Menghidupkan Nilai-nilai Profetik di Tengah Masyarakat Heterogen”)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua