Kolom

Mahar Seluruh Harta, Bolehkah?

M. Ishom el-Saha (Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah Uin Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

M. Ishom el-Saha (Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah Uin Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Viral pemberitaan seorang Kepala Desa (Kades) di Kabupaten Magetan yang memberikan semua hartanya sebagai mahar kepada istri barunya. Menurut Kades itu, dirinya memberikan mahar semua hartanya karena ingin angkat derajat istri barunya.

Mahar yang di dalam Al-Qur'an disebut dengan "shaduq" adalah maskawin yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan untuk menghalalkan berhubungan badan. Dalam ajaran Islam, lelaki yang menikah dengan maskawin yang dihutang, meskipun sah akad nikahnya, maka hak-haknya sementara waktu boleh tidak dipenuhi oleh istrinya. Terkecuali istri rela atas haknya menerima mahar yang tidak dibayarkan secara tunai oleh suami.

Mahar bukan berarti komersialisasi istri kepada suami, akan tetapi menjadi bentuk komitmen, ketulusan, dan kejujuran, sesuai lafal "shaduq" yang satu akar kata dengan lafal "shidq" dari pihak suami kepada pihak istri. Hal ini dibuktikan dalam Islam bahwa mahar tidak semata-mata berbentuk materi tetapi dapat berupa non materi seperti membacakan dan mengajarkan Al-Qur'an dan ilmu agama lainnya.

Bukti lain mahar bukan komersiliasi perempuan adalah tidak dimasukkannya mahar sebagai rukun nikah, ialah 4 rukun yang terdiri dari mempelai, wali nikah, ijab kabul, dan saksi. Bahkan Rasulullah Saw pernah menasehati sahabat yang tidak mampu secara ekonomi namun kuat syahwatnya supaya menikah, walaupun dengan mahar dari cincin dari logam biasa. Hal ini mengisyaratkan bahwa perkawinan itu bukan menebus perempuan dengan sejumlah materi, melainkan pertalian cinta kasih atas dasar komitmen pihak suami dengan pihak istri.

Walaupun diakui dalam pemikiran salah satu Mazhab fiqh ada yang memasukkan pokok bahasan kafah dalam perkawinan, namun hal itu lebih didasarkan pertimbangan sosial kemasyarakatan. Misalkan seorang suami diwajibkan memberikan mahar yang senilai dengan mahar yang umumnya dijadikan patokan sebuah keluarga atau klan masyarakat tertentu. Hal itu semata-mata karena Islam menghormati adat masyarakat bukan sebagai ketetapan hukum yang mengikat.

Islam pada dasarnya membuat aturan mahar yang sederhana dengan tujuan tidak memberatkan umatnya untuk melangsungkan nikah. Dikhawatirkan apabila aturan mahar dibuat secara ketat, maka tujuan syariat (maqashid al-syariah) untuk menjaga kelangsungan hidup secara turun-temurun umat manusia menjadi terhalang dan terhambat. Dengan pertimbangan ini juga para ulama dan ahli hukum di Indonesia tidak mengatur ketentuan mahar dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) sekalipun dalam beberapa suku masyarakat Indonesia ada yang menerapkan nilai mahar secara ketat.

Suami sah-sah saja memberikan mahar yang terbaik kepada istri yang dicintainya. Akan tetapi patut pula dipertimbangkan bahwa mahar yang diberikan itu jangan sampai kemudian menjadi patokan atau standar bagi kelompok masyarakat yang lain. Sehingga hal itu akan memberatkan bagi lelaki-lelaki yang berniat melamar dan menikahi perempuan, baik yang masih gadis maupun janda.

Dalam konteks ini ada penjelasan dari sahabat Nabi bernama Umar bin Khattab, sebagai berikut:

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: ألا لا تغلوا صدق النساء، فإنها لو كانت مكرمة في الدنيا أو تقوى في الآخرة لكان أولاكم بها النبي صلى الله عليه وسلم، ما أنكح شيئاً من بناته ولا نسائه فوق اثنتي عشرة أوقية..

Artinya: Telah berkata Umar bin Khattab: "Ingatlah! Janganlah kalian berlebihan dalam membayar mahar untuk istri. Sesungguhnya sekalipun istrimu itu terhormat di dunia atau dianggap bertaqwa di akhirat, maka pada dasarnya yang lebih mulia daripada istrimu itu adalah Rasulullah Saw. Sebaiknya tidak membayarkan suatu mahar yang diminta anak perempuan yang dinikahinya maupun ibunya yang lebih dari 12 keping uqiyah" (H.R. Abu Daud).

Demikian Islam mengajarkan kemudahan kepada umatnya tentang memberikan mahar kepada para istri. Ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan umatnya untuk beribadah kepada Allah Swt. Nikah adalah wujud ibadah, maka mudahkanlah!

M. Ishom el-Saha (Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah Uin Sultan Maulana Hasanuddin Banten)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua