Kolom

KUA sebagai Tempat Pencatatan Perkawinan Semua Agama, Mungkinkah?

M Isom El Saha (Dosen UIN Banten)

M Isom El Saha (Dosen UIN Banten)

Usul Menteri Agama supaya Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat pencatatan perkawinan semua agama patut dikaji. Di satu sisi masih terdapat hambatan regulasi hukum dalam mengimplementasikan usulan Menag itu, tetapi di sisi lain upaya itu penting untuk memaksimalkan supervisi pelaksanaan pencatatan perkawinan, khususnya bagi penganut non-muslim.

Menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan perkawinan tidak semata-mata bicara tempat dilangsungkannya perkawinan. Banyak pencatatan perkawinan pasangan muslim tidak dilangsungkan di KUA tetapi di rumah-rumah, gedung dan tempat peribadatan yang dihadiri penghulu (pegawai pencatat nikah). Dengan kata lain jika hanya perkawinan pasangan non-muslim yang dilaksanakan di KUA, maka masyarakat yang melakukannya pasti lebih memilih di tempat peribadatan mereka masing-masing.

KUA dijadikan tempat pencatatan perkawinan semua agama itu sama halnya pemerintah menyiapkan pegawai pencatat perkawinan tiap-tiap agama. Tidak hanya penghulu yang selama ini memberikan layanan pencatatan perkawinan bagi penganut agama Islam.

Kalau saja misalnya penghulu diberikan tugas tambahan untuk melakukan pencatatan perkawinan penganut non-muslim, maka hal itu ada hambatan peraturan perundang-undangan. Dalam hukum perkawinan yang diatur melalui UU No. 1/1974 dan penjelasannya, dinyatakan bahwa pencatatan perkawinan yang dilakukan di hadapan "pegawai yang sah" adalah penghulu untuk penganut Islam dan pegawai pencatatan sipil untuk non-muslim.

Selain UU Perkawinan ada pula Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14/2020 yang dapat menghalangi pengadaan pejabat pencatatan perkawinan non-muslim di KUA. Di dalam Permendagri ini pencatatan perkawinan non muslim menjadi tugas dan tanggung jawab Disdukcapil, yaitu Bidang Fasilitasi Pencatatan Sipil.

Di dalam penjelasan Permendagri No. 14/2020 disebutkan bahwa Bidang Fasilitasi Pencatatan Sipil menyelenggarakan fungsi, pencatatan kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, perubahan status anak, pewarganegaraan, dan pengelolaan dokumen pencatatan sipil di kabupaten/kota.

Bidang Fasilitasi Pencatatan sipil adalah pegawai daerah, sedangkan penghulu atau pegawai pencatatan nikah statusnya merupakan pegawai pusat yang ditugasi memberikan layanan di satker Kemenag paling bawah yakni KUA.

Jadi ada hambatan regulasi yang sementara ini menghadang usulan Menag, agar KUA dijadikan tempat pencatatan nikah untuk semua penganut agama di Indonesia. Walaupun hambatan regulasi ini dapat saja "dihilangkan" dengan beberapa catatan.

Pertama, melakukan perampingan sekaligus unifikasi hukum administrasi pencatatan perkawinan dan perceraian secara utuh. Kita sama-sama paham bahwa unifikasi hukum perkawinan di Indonesia belum terjadi seutuhnya. Pluralisme hukum perkawinan warisan jaman kolonial masih berlaku hingga saat ini, seperti dalam kasus pencatatan perkawinan. Akibatnya masih terjadi dekotomi antara perkawinan kelompok adat dan kelompok non-muslim, dengan masyarakat Islam.

Kedua, menerapkan reformasi hukum kewenangan atributif yang dimiliki Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kita tahu isu ini juga santer terjadi dalam pemerintahan otonomi daerah karena selama ini Camat juga melakukan malapraktik melakukan tugas Dukcapil.

Selama ini yang dijadikan dasar adalah Undang-Undang No 23/2016 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 7 Ayat (1). Yaitu Bupati dapat membuat diskresi dalam bentuk mengeluarkan kebijakan pendelegasian wewenang urusan Adminduk kepada camat selaku pelaksana kegiatan penunjang di daerah. Akan tetapi hal ini tumpang tindih dengan kewenangan atributif Disdukcapil. Dengan kata lain, kalau pemerintah berkomitmen maka kewenangan atributif Disdukcapil harus ditata ulang.

Ketiga, khusus pencatatan perkawinan dan perceraian perlu "dikeluarkan" dari isu dekresi kebijakan pendelegasian wewenang urusan Adminduk kepada Camat. Kemudian sesuatu yang khusus itu secara mutlak dijadikan kewenangan penghulu dan kepala KUA. Tentu dengan syarat jabatan penghulu dan atau Kepala KUA dinaikkan setara dengan jabatan camat. Secara otomatis KUA juga harus direvitalisasi tidak di bawah Ditjen Bimas Islam, tetapi langsung di bawah Sekretaris Jenderal Kemenag RI.

Pertanyaannya adalah apakah hal itu dimungkinkan terjadi? Wallahu a'lam.

M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua