Kolom

Kesantunan Bermedsos

Dodo Murtado: Humas Kementerian Agama, Ketua Yayasan Kiai Ali.

Dodo Murtado: Humas Kementerian Agama, Ketua Yayasan Kiai Ali.

Masih ingat cuitan Eko Kuntadhi yang dinilai menghina Ning Imaz sapaan akrab Imaz Fatimatuz Zahra, salah satu keluarga Ponpes Lirboyo beberapa waktu lalu? Cuitannya telah memicu kemarahan banyak pihak di lini media massa, terutama media sosial. Founder Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi berdasarkan analisisnya mengungkapkan, penghinaan oleh akun _ekokuntadhi dan jagalkadrun1312 kepada Ning Imaz telah menyebabkan keonaran digital dan kemarahan banyak pihak.

Terbaru, seorang peneliti BRIN terpaksa berurusan dengan hukum karena komentar yang sarkastis sebagai ujaran kebencian yang memicu reaksi keras dari kalangan luas, selain juga warga Muhammadiyah. Alasan yang dikemukakan bersangkutan karena emosi koleganya diserang oleh komentar-komentar yang tidak pas. Luapan kemarahan AP di media sosial tersebut terelasi dengan watak media sosial yang dapat merasuki psikologi penggunanya adalah melalui konsep yang dikenal sebagai emotional contagion – penularan emosi: fenomena di mana keadaan emosi secara tidak sadar ‘ditransmisikan’ antar individu (greatmind.id).

Peristiwa Eko Kuntadhi, AP Hasanuddin, dan netizen lainnya yang seperti ini mengonfirmasi temuan survei perusahaan Microsoft melalui Digital Civility Index (DCI). Dari laporan Civility, Safety and Interaction Online edisi ke-5 bulan Februari 2021 yang dikeluarkan Microsoft, Indonesia menduduki rangking 29 dengan nilai DCI 76, yang menunjukan tingkat keberadaban (civility) netizen Indonesia sangat rendah, di bawah Singapura dan Taiwan. Keberadaban yang dimaksud dalam laporan ini terkait dengan perilaku berselancar di dunia maya dan aplikasi media sosial.

Potret rendahnya keadaban netizen terungkap serupa dari penelitian yang dilakukan Egi Rizqi Fitri Ardiani, Ima Noviana, Anggi Mariana, Siti Nurrohmah tentang Kesantunan Berkomunikasi pada Media Sosial di Era Digital (2021). Kesimpulan penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kesantunan dalam berkomunikasi di media sosial pada era digital di kalangan masyarakat masih sangat kurang.

Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, Dirjen Pendidikan Islam mengungkapkan, ketika seseorang masuk pada dunia digital, sesungguhnya ia sedang melaksanakan apa yang terjadi di dunia nyata. Membangun digital culture saat berada di dunia digital bisa menjadi instrumen mitigasi diri agar tidak terbawa arus kemarahan yang diciptakan orang lain atau akun anonim dengan tujuan dan agenda yang telah didesain.

Douglas dan Mc Garty, yang menjelaskan dampak anonimitas di dunia maya, menggambarkan bagaimana pengguna akun yang berperilaku anonim memiliki peluang besar untuk menyampaikan ucapan kasar dan emosional (Chang, 2008). Jamak kita ketahui, ada berjuta akun anonim media sosial yang dikendalikan, lantang menyampaikan ujaran kebencian, caci maki dengan beragam motif, tujuan dan kepentingan kepada pihak-pihak yang dituju tanpa reserve bahwa ujaran dan komentar tersebut memicu perpecahan, perselisihan, keretakan sosial, dan dampak negatif lainnya. Kebijaksanaan diri dalam bermedia sosial sangat menentukan agar tidak terperangkap dalam jebakan medsos yang sehar-hari sudah menjadi piranti berkomunikasi, berinteraksi, membaca dan memperoleh informasi dari satu genggaman benda smartphone.

Saat ini, tranformasi digital semakin melompat jauh. Dari dunia riil orang-orang mencoba melarikan diri ke meta, dunia buatan, dunia yang tidak diraba, dirasa. Semisal air di dunia meta, dengan mata dan perangkat okulus, kita bisa meraba bahwa ini adalah air, kita akan segera ke dunia meta dengan segala problema buatannya. Dunia meta, interaksi emosional manusia semakin tidak alami (artisial), tidak lagi dihayati karena ada transmisi perasaan, ada persentuhan dan perjumpaan mata, getaran hati secara langsung. Persentuhan emosi akan semakin jauh dan tawar, padahal momen antarorang berbicara, bertatap mata, dan membaca gestur fisik langsung, seseorang akan cepat mengendapkan emosinya bila ada silang pendapat.

Lalu apa bentuk kebutuhan minimal seseorang menempatkan diri dalam arus percepatan teknologi khususnya bermedia sosial. Salah satunya adalah dibutuhkan kecerdasan eksploratif, kemampuan melakukan eksplorasi kebenaran sangat dibutuhkan di era berjuta informasi dan hoax, kemampuan memvalidasi kebenaran informasi dan mencari sumber yang berimbang (cover both side), rujukan yang tepat dan bertanggungjawab. Kecerdasan eksploratif ini bisa menjadi filter menangkal luapan reaksi yang emosional yang satu waktu bisa menjadi pisau tajam menusuk, karena ada akibat dan konsekwensi hukum.

Prilaku santun bermedsos butuh kecerdasan emosi, kecerdasan menimbang, kemampuan eksploratif. Prilaku seseorang bermedsos secara tidak langsung mencirikan kepribadian dan kemampuan nalar orang tersebut. Kebijaksanaan dan kesantunan bermedsos mutlak dibutuhkan agar teknologi bisa lebih bermanfaat positif dan maslahat. Mungkin suatu saat, setiap kita akan kembali dari metaverse ke universe. Manusia akan merasa bahwa metaverse adalah ilusi, kering dari getaran kemanusiaan hakiki, dunia riil (universe) akan dirindukan. Saatnya bertemu, ngopi bersama tanpa asing satu sama lainya, sejenaklah jeda dari media sosial, dan nikmati segelas kopi dalam senda gurau, diskusi, dan bertukar cerita dan pikiran tanpa jarak. Semoga.

Dodo Murtado: Humas Kementerian Agama, Ketua Yayasan Kiai Ali.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Dodo Murtado

Kolom Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat

Lainnya Lihat Semua