Kolom

Jalan Tengah: Mitos, Persepsi, dan Sugesti

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Masih berbicara tentang mitos dan kesialan. Seorang teman yang merespon coretan saya menyebutkan bahwa sebuah pandangan terhadap sesuatu bila dijadikan kesadaran bersama akan direspon oleh alam semesta dengan cara membentuk gelombang.

Jadi menurutnya, meskipun yang dipersepsi itu adalah mitos, maka itu akan menjadi kenyataan karena gelombang-gelombang respon alam semesta akan mengkondisikan diri untuk menghadirkan kesadaran kolektif itu.

Seorang rekan bertanya ke saya, apa yang membentuk mitos, persepsi, atau sugesti? Saya menjawab seadanya sesuai keterbatasan saya. Persespilah yang membentuk sugesti. Persepsi personal melebar menjadi persepsi publik atau yang disebut dengan kesamaan pandangan yang membentuk sugesti orang. Sugesti adalah pengaruh atau pandangan yang diterima tanpa pencernaan, atau sebuah kebenaran yang dianut tanpa pernah ditelaah secara mendalam.

Sugesti inilah yang kemudian membentuk mitos, sebuah kepercayaan terhadap kebenaran sesuatu yang tidak pernah diuji oleh akal sehat. Ternyata dalam masyarakat tradisional, tempat menjamurnya mitos, mitos itu digunakan sebagai cara jitu "melarang" orang untuk melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu.

Contohnya; jangan duduki bantal, nanti bisulan. Apa hubungannya? Ada memang hubungannya, bantal yang sudah karatan diduduki dan menyebarlah virusnya. Tapi tujuannya lebih kepada menjauhkan orang karena kalau sering diduduki itu bisa cepat kempes. Lagi pula, nanti yang duduk sering kentut, sangat tidak etis karena bantal itu adalah tempat kepala.

Jadi sesungguhnya, mitos hadir sebagai penyangga tatanan sosial. Itulah, mitos tidak berfungsi bila tidak menjadi sesuatu yang dipercaya. Karena yang percaya itulah yang akan menjalankannya. Bagi yang tidak percaya, maka itu hanya sebatas mitos belaka, dan secara perlahan hilang ditelan kepercayaan baru.

Mengapa mitos angka 13 masih bertahan, karena penganutnya mengalami regenerasi. Produk modern berkelindan dengan mitos tersebut. Masih banyak orang yang dalam pengalaman hidupnya merasa terkena dampak sugesti kesialan angka 13 itu.

Bagaimana keluar dari jebakan mitos tersebut. Perlu ada gerakan rasionalisasi hidup. Mengapa gaji ke-13 tidak pernah terdengar ada yang menghindarinya? Bagaimana kalau ada protes misalnya diganti menjadi gaji ke-14. Saya yakin lebih banyak lagi yang akan protes, bahwa harus tetap ada namanya gaji ke-13. Maksudnya, supaya menjadi dua bulan kelebihan gaji. Artinya, bila sesuatu, misalnya angka dikaitkan dengan harapan, kesenangan, atau kesejahteraan, maka angka itu boleh berapa saja. Tapi bila dikaitkan dengan ketidakpastian, maka pertarungannya adalah angka apa yang dianggap spesial.

Sekali lagi, mitos itu sejatinya tidak ada, hanya permainan imaginasi yang sudah terinstitusi dari orang atau kelompok yang memerlukannya. Anda pun bisa menciptakan mitos, misalnya dari kalangan ibu-ibu: "laki-laki yang suka melirik perempuan bukan muhrim, matanya cepat juling." Ini contoh mitos menarik, karena bisa terkena dua kutukan sekaligus; dosa dan mata juling. Tinggal satu tantangan yang harus dilalui untuk menjadikannya sebuah mitos: Apakah para lelaki percaya!

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua