Kolom

Jalan Tengah: Kisah Gajah dan Tali Pengikat

Hamdan Juhanis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Hamdan Juhanis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Para pembaca, hari ini saya agak lowbat, kurang fit, dan krisis ide. Namun ada satu cerita tersimpan, khususnya bagi yang setia menunggu celoteh saya. Ada seorang pemuda melewati kawanan gajah raksasa di sebuah tanah lapang. Dia begitu penasaran mengapa gajah itu tetap terkontrol dan tidak lepas. Rupanya gajah itu diikat dengan tali pada kaki bagian depannya.

Namun yang mengherankan anak muda itu, mengapa kawanan gajah itu tidak melepaskan diri dari ikatan tali yang sangat kecil untuk ukuran badannya. Ketika dia diarahkan dengan tali kecil itu, dia manut saja. Bukankah dengan sekali sepakan saja, tali itu bisa putus, itu yang terlintas di benak anak muda itu.

Pemuda ini lalu menemui seseorang yang mengurus gajah itu untuk bertanya hal yang membingunkannya. Rupanya orang itulah yang mengurus gajah-gajah besar itu sejak kecil. Setelah dia menanyakan keheranannya, pengurus itu menjawab bahwa gajah itu sudah dikondisikan untuk mempercayai bahwa ikatan tali mereka tidak akan mampu membuat mereka lepas dan lari. Menurutnya, gajah itu sudah diikat dengan tali itu sejak kecil, di mana saat itu kekuatan tali itu seimbang dengan bobot gajah kecil.

Kata pengurus gajah, tali itu tetap mengikat seiring dengan pertumbuhan gajah itu sampai besar. Jadi meskipun sudah besar dengan tenaga yang melimpah, pada diri gajah itu sudah ditanamkan kesadaran bahwa tali itu sangat kuat untuk mengikatnya.

Para pembaca, cerita di atas adalah penggambaran tentang kehidupan manusia dalam kaitan dengan keyakinannya. Cerita di atas juga menjelaskan bagaimana sebuah doktrin bekerja dalam kehidupan. Ada keyakinan yang dipegang kuat kebenarannya, padahal bisa saja hanyalah bangunan doktrin yang sudah tidak layak dipertahankan. Ada pemahaman tentang kebenaran bukan karena itu benar, tapi semua jalan tertutup untuk melihat kebenaran lain di luar dari yang dipahaminya.

Salah satu contohnya adalah pemahaman tentang bagaimana takdir bekerja dalam hidup. Orang dibentuk untuk memahami takdir secara berbeda. Terkadang ada pengkondisian untuk memahami takdir yang sangat progresif, pro pada perubahan. Terkadang juga ada pembentukan kesadaran beragama yang di dalamnya berisi paket pemahaman takdir yang menghambat perubahan.

Bagaimana jalan tengahnya? Lawan! Bukan melawan Takdir Tuhan sebagai salah satu ajaran penting beragama, tetapi melawan persepsi atau pengkondisian tentang takdir yang menghambat perubahan. Sekali lagi, lawan, kecuali kalau anda gajah!

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat

Lainnya Lihat Semua