Kolom

Halal Bihalal yang Mempersaudarakan

JB Kleden (Kepala Kankemenag Kota Kupang)

JB Kleden (Kepala Kankemenag Kota Kupang)

Bulan suci Ramadan telah dilewati. Hari-hari berpuasa dan penyucian diri telah dituntaskan. Umat Islam dengan penuh sukacita merayakan hari kemenangan Idulfitri 1 Syahwal 1444 H. Orang kami di Kampung Baru, sentra umat Islam di Larantuka, Flores Timur, menyebut hari raya ini dengan Lebaran. Di Kampung Baru, Lebaran benar-benar hari pesta.

Meskipun bukan seorang muslim, kami selalu ikut berlebaran karena kekerabatan. Setelah malam harinya membagi Zakat Fitrah, ayam kampung yang sudah disiapkan dan digemukkan sejak awal Ramadan dipotong dan diopor kering. Seusai salat Idulfitri seluruh keluarga melanjutkan kegembiraan hati setelah saling memberi maaf satu sama lain dengan santap pagi yang lezat.

Kemudian dilanjutkan dengan keluar rumah menuju makam. Pusara tempat transit para keluarga, sanak saudara dan nenek moyang menunggu pengadilan Makhsyar kelak. Kami mengirim doa kepada keluarga yang telah tiada, yang tidak lagi duduk makan bersama di Lebaran kali ini. Dari makam, secara bersama pula ke keluarga yang lebih tua, kakek, nenek, paman, bibi, bapa besar, bapa tengah, bapa kecil untuk mohon maaf dan doa. Dari sana lalu ke segenap famili dan orang sekampung melebur kekhilafan di masa lalu.

Seminggu setelah Lebaran, ada pesta lagi. Namanya, Halal Bihalal. Kalau silaturahmi kami saling mengunjungi antar keluarga dari rumah ke rumah, saat halal bihalal semua orang datang berkumpul dalam tenda di lapangan masjid. Dulu tenda dibuat dari daun nyiur. Kini dengan terpal yang lebih modis. Orang dari kampung tetangga seperti Postoh, Lekea, Kota Rewido, Lebao yang semuanya merupakan kampung-kampung Katolik ikut bergabung.

Sukacita halal bihalal menjadi kegembiraan yang meluap menerobosi sekat-sekat keberagaman. Ia menjadi hari raya bersama: menyiapkan tenda bersama, masak bersama, dan makan bersama. Ia menjadi perjumpaan lintas iman di tengah perbedaan. Pada hari itu hidup tak bersandiwara, anak-anak muda Postoh dan Kampung Baru yang suka bentrok kalau main bola kaki, dengan penuh kesadaran duduk bersama saling berangkulan menikmati hidangan halal bihalal yang sungguh lezat.

Setelah tiga tahun absen karena pandemi, tradisi halal bihalal kembali mewarnai kegembiraan Lebaran 1444 H. Kegembiraan ini juga merasuki keluarga besar Kemenag Kota Kupang. Pada 2 Mei 2023, bertepatan dengan peringatan Hardiknas, seluruh keluarga besar Kemenag Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menggelar Halal Bihalal Syawal 1444 H. Giat ini sangat strategis untuk meningkatkan kualitas silaturahmi, mempererat persaudaraan, dan merawat keberagaman. Turut hadir Ketua MUI Kota Kupang dan segenap pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Kupang.

Sebuah sukacita bersama yang rahmat dan berkatnya merambah semua orang, yang syukur dan setiakawannya menyentuh semua kaum. Ibu-ibu DWP dan Majelis Taqlim berkolaborasi melantunkan qasidah menggemakan lagu kerukunan. Anak-anak Raudhatul Athfal dengan busana muslim berlenggak-lenggok persis para artis fashion show di atas catwalk. Siswa-siswi madrasah melantunkan lagu-lagu daerah NTT dan menarikan beragam tarian dari segenap pelosok Nusantara. Wonderful Indonesia.

Ustadz Dahrul yang membawakan Hikmah Idulfitri bercerita mengenai tiga doa malaikat Jibril yang diamini Rasulullah SAW dan mengajak segenap umat untuk selalu hidup dalam damai, untuk selalu menjadi umat rahmatan lil alamin. Pada akhir hikmahnya l, ustadz Dahrul memberi kesan: Betapa indahnya kalau Katong semua hidup basodara dalam keberagaman yang rukun mengharum.

Saat makan bersama, Bapak R.M. Nico Hananto Putra, wakil FKUB Kota Kupang dari umat Buddha bertanya kepada saya. Inti halal bihalal ialah silaturahim juga. Kalau kita sudah silaturahmi saling maaf memaafkan di hari Lebaran, apakah musti ada halal bihalal lagi? Lagi pula sekarang semua sudah serba virtual?

Saya sadar hanya seorang ahli agama Islam yang mampu menjawab pertanyaan ini secara clear, baik dari segi teologi maupun hukum Islam. Sebagai seorang yang bukan muslim namun hidup bersama kerabat muslim dalam lingkaran kekeluargaan karena kawin mawim, tentu juga sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama yang memiliki kewajiban dan tanggungjawab tugas “mengurusi” puasa Ramadan dan Idulfitri, saya menjawabnya dari perspektif pengalaman hidup harian.

Saya memandang halal bihalal sebagai salah satu cara atau model menghidupi visi persaudaraan di antara umat. Dengan halal bihalal orang belajar hidup untuk saling berbagi, saling meneguhkan, saling peduli dan saling menumbuhkan harapan di dalam komunitas agamanya. Juga sebagai medan pembelajaran dan pemberian semangat untuk menghayati hal yang sama dengan semua umat dari kelompok manapun.

Lebih dari menambah kesemarakan Lebaran, bobot halal bihalal kali ini justeru terasa menohok ketika kita mulai merasakan kehilangan perspektif kebersamaan fisik transformasi kehidupan ke dunia digital. Perjumpaan virtual yang semula menjadi siasat di saat pandemi, ternyata juga mengubah persepsi publik tentang silaturahmi. Twibbon Idulfitri laris manis di medsos dengan beragam bentuk dan ucapan yang menggetarkan kalbu.

Ibadat dan praktik beragama pun ikut tergerus. Tidak sedikit ritual peribadatan agama mengalami reduksi nilai. Determinasi virtual mengubah praktik beragama yang diperuntukkan untuk membina sublimitas manusia menjadi tontonan menarik di layar digital. Kita seakan beralih dari spiritualitas iman ke spiritualitas virtual.

Kalau dulu manusia-manusia religious berbicara mengenai believing without belonging, maka sekarang manusia digital punya fenomen baru, attending withouth belonging. Pertanyaannya, apakah perilaku beragama yang ditampakkan di dunia virtual itu nilai yang hakiki dari agama itu sendiri, atau sekadar penampakan untuk kepentingan spiritual being dan narsis keberagamaan individual?

Sangat mudah mengatakan “tidak” ketika ada “ya” yang membara dalam hati. Kita kelihatan begitu religius saat di dalam screen gawai. Kita terlihat begitu beragama saat berkecimpung di atas layar dan berselancar di jagat maya. Kita bahkan belum merasa nyaman kalau belum mempost selamat Idulfitri dan memohon maaf lahir batin di medsos.

Kita seperti menemukan eksistensi beragama ketika berada dalam jaring virtual dan bukan dalam agama itu sendiri. Pengalaman keberagamaan seperti menemukan ruang baru di layar gawai, bukan lagi di rumah ibadat. Mohon maaf terasa lebih membanggakan ketika di-like ribuan manusia maya meski tak pernah bersua dalam kehidupan nyata. Padahal mohon maaf itu untuk didengarkan telinga orang yang kita sakiti, bukan dibaca di layar ponsel oleh followers yang tak kita kenal.

Ancaman yang paling melumpuhkan setiap orang dan setiap komunitas agama adalah ketika kita kehilangan perspektif dan semangat misioner, saat kita tidak lagi berani keluar dari diri: dari kepentingan diri, dari ketersinggungan atau rasa sakit hati kita. Dalam spiritualitas digital, kita menjadi homo incurvatus: melengkung ke dalam diri sendiri.

Kita nampak sangat beragama saat berkecimpung di atas layar, namun kita sedang membangun spiritualitas yang melengkung di dan ke dalam dirinya sendiri, yang tidak mau melihat dan tidak mempunyai perspektif keluar diri selain ke nitizen kita yang terbentuk menurut struktur jejaringan algoritme. Kita nampak menjadi lebih saleh di medsos. Tapi yang dirindukan bukan kehadiran Tuhan tetapi respons virtual melalui like dan emoticon seperti para influencer digital berburu nitizen. Padahal beragama menuntut kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Menanggapi virus keberagamaan virtual yang berbahaya ini, kita memang perlu menghidupkan kembali visi persaudaraan, memperkuat perjumpaan fisik dan merawat pertalian sosial mulai dari pribadi, kelompok dan masyarakat. Halal bihalal, silaturahmi fisik dalam hikmah fitri selepas Lebaran di lingkungan keluarga, pertemanan hingga perkantoran penting dipelihara untuk menumbuhkan budaya keagamaan yang inklusif tanpa sekat-sekat sekaligus meningkatkan kualitas digital spiritualitas.

Permohonan maaf lahir batin kita yang sudah kita ucapkan di gawai dan memenuhi jagat maya secara anonim, perlu diimplementasikan dalam kehidupan nyata langsung dengan orang yang telah kita lukai atau kita sakiti. Ini suatu perbuatan yang sungguh-sungguh membebaskan, tatkala kita meminta maaf dan memberi maaf kepada sesama secara langsung.

Beban hidup terberat adalah kesalahan kepada orang lain. Tentu juga salah dan dosa kepada Tuhan. Namun mohon maaf dan ampun kepada Tuhan lebih mudah dilakukan ibarat hanya urusan berdua dengan Tuhan dalam doa sunyi kita. Namun bersalah kepada orang lain harus dilakukan secara terbuka. Terjadi pergulatan dengan kecongkakan, gengsi dan perasaan hilang muka.

Halal Bihalal yang dilakukan secara terbuka menjadi momentum istimewa yang menghadirkan kesempatan untuk kita bisa meminta maaf dan memberi maaf tanpa implikasi kehilangan muka. Rasa syukur secara vertikal kepada Allah Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang pada hari Lebaran sekaligus ditransformasikan menjadi rasa syukur horizontal dalam halal bihalal.

Maka tidak berlebihan juga kalau dikatakan halal bihalal adalah momentum yang mempersaudarakan. Ia menyadarkan manusia digital yang life on screen serba virtual untuk meningkatkan kualitas silaturahmi fisik, mempererat persaudaraan, meningkatkan ukhuwah dan merawat keberagaman yang menjadi mosaik kekayaan bangsa.

Dengan demikian halal bihalal yang mempersaudarakan, yang kita banggakan sebagai warisan Islam Indonesia yang distingsif, memungkinkannya menjadi model sekaligus berkontribusi nyata pada penguatan peradaban global mewujudkan persaudaraan kemanusiaan sebagai visi masa depan bersama umat manusia. Sekaligus menampilkan keindahan Islam sebagai rahmatan lil alamin yang secara tidak bertanggungjawab telah direduksi oleh sebagian umat dengan residu ideologi obskurantis atas nama Islam dan Tuhan.

Alangkah indahnya jika halal bihalal yang mempersaudarakan ini terus dikembangkan menjadikan komunitas harapan, yang membuka mata untuk melihat hal-hal yang sepatutnya, saling memberanikan untuk mengambil langkah bersama demi perubahan dan menginspirasi yang lain. Harapan ini tidak berlebihan mengingat kenyataan Indonesia sebagai salah satu negara dengan wilayah geografis terbesar di dunia, negara demokrasi terbesar ketiga di muka bumi, sekaligus negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbanyak di dunia muslim dan menempuh Islam wasathiyyah yang toleran dan damai. (*)

JB Kleden (Kepala Kankemenag Kota Kupang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat

Lainnya Lihat Semua