Kolom

Ghulul sebagai Instrumen Audit Produk Halal

M. Ishom El saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

M. Ishom El saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Secara bahasa, ghulul adalah meresapnya air di sela-sela pohon. Secara istilah, ghulul adalah bentuk kejahatan karena berkhianat secara tidak langsung (khiyanat khafiyat) kepada sesama kawan, sesama profesi, sesama anggota organisasi, dan perkumpulan lainnya.

Dalam hukum Islam, ghulul dianggap sebagai kejahatan (Jarimah). Di zaman Rasulullah Saw, ghulul pertama kali diterapkan dalam masalah memisahkan harta rampasan (ghanimah) untuk kepentingan pribadi sebelum dibagi-bagikan kepada semua pasukan yang ikut berperang.

Di dalam Al-Qur'an disebutkan pada QS. Ali Imran ayat 161: "Wa maa kaana li nabiyyin ay-yaghul" (tidak ada bagi Nabi Muhammad berbuat ghulul). Ayat ini diturunkan berdasarkan peristiwa hilangnya salah satu benda rampasan perang berupa bunga berwarna merah yang tak pernah layu. Di antara pasukan yang ikut perang ada yang berkata: benda itu telah diambil Rasulullah Saw. Karena itu diturunkan lah QS. Ali Imran: 161 untuk menyangkal kecurigaan sebagian pasukan perang Badar atas hilangnya bunga berwarna merah karena diambil terlebih dahulu dari benda rampasan perang sebelum dibagi-bagikan.

Sejak itulah ada aturan larangan mengambil harta rampasan perang secara diam-diam sebelum dibagi-bagikan, yakni yang disebut ghulul. Sebagai bentuk kejahatan, ghulul tidak hanya dikenal dalam hukum perang, melainkan juga dalam hukum muamalah. Rasulullah bersabda: "Tidak sah salat kecuali dengan bersuci dan tidak diterima sedekah yang kedapatan ghulul di dalamnya". Dalam hadits ini, ghulul diartikan sebagai hadiah dengan menggunakan barang yang tidak halal.

Penarikan hukum kejahatan ghulul dari isu hukum pidana ke dalam hukum perdata, lebih nyata dilakukan oleh Imam Al-Ghazali ketika membahas masalah halal-haram dalam kitab Ihya Ulum al-Din. Imam Ghazali menyinggung masalah ghulul dalam konteks perolehan dan pendapatan kekayaan di masa hidupnya. Menurutnya, kehalalan kekayaan tidak hanya diukur dari bebas riba, tetapi juga bebas ghulul. Imam Al-Ghazali lalu menyinggung pendapatan kekayaan yang bersumber dari gratifikasi (hadiyah). Dalam pandangannya, ghulul juga sangat menentukan dijadikan instrumen menentukan apakah kekayaan yang dimiliki seseorang itu halal atau haram, dan tidak sekedar dari pendekatan riba.

Sejak dikemukakan oleh Imam al-Gahazali, masalah kejahatan ghulul menjadi melebar sebagai instrumen hukum yang menentukan kehalalan produk dan jasa yang diperdagangkan. Produk atau jasa yang kedapatan ada unsur berkhianat dianggap ghulul dan haram. Oleh sebab itu memasukkan ghulul dalam instrumen audit produk halal patut dipertimbangkan. Produk halal yang diperdagangkan namun terdapat niatan produsen berbuat curang yang dapat merugikan sesama produsen, seperti untuk menurunkan harga pasar atau memenangkan persaingan pasar secara tidak wajar, barangkali bisa diaudit dengan instrumen bebas ghulul.

Sudah barang tentu gagasan ini butuh kajian lebih lanjut, terutama untuk menetapkan standard audit bebas ghulul agar dapat dijadikan ukuran menetapkan adanya kejahatan dalam produksi dan pemasaran produk. Selain itu, isu hukum ghulul dapat diadaptasikan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

Mudah-mudahan ada yang mau menseriusi gagasan ini terutama untuk memperkuat ekosistem halal di Indonesia.

M. Ishom El saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua