Kolom

Eufemisme Kekerasan dan Tantangan Pandidikan Karakter

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag)

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag)

Dalam momen mudik Lebaran, kesempatan untuk melihat perkembangan sekitar di kampung halaman menjadi menarik untuk dilakukan. Selain bersilaturahim dengan keluarga, Lebaran juga merupakan momen untuk menyegarkan kembali ingatan masa lalu dengan menikmati kondisi sekitar dan pemandangan yang ada.

Salah satu momen menarik adalah saat melihat perkembangan anak-anak kampung zaman sekarang. Dengan dukungan teknologi informasi yang semakin canggih dan relatif mudah didapatkan, anak-anak kampung saat ini memiliki kesempatan yang lebih cepat untuk menerima gagasan perkembangan sosial-budaya ketimbang generasi sebelumnya.

Contohnya, di daerah perkampungan yang cenderung masih susah menerima sinyal internet, anak-anak ternyata banyak yang sudah paham lagu yang sedang memuncaki tangga lagu terkini sekaligus pesan di balik lagu tersebut. Hal ini bukan hanya menarik diamati dari sisi kecepatan merespons informasi dan perkembangan, tapi juga bagaimana dampak yang mungkin diakibatkan olehnya.

Di tengah suasana saling bermaafan dengan keluarga dan handai taulan, beberapa anak serius membincang tentang lagu yang sedang hit, yakni Kill Bill yang dilantunkan penyanyi Rhythm and Blues (R&B) ternama SZA (Solana Imani Rowe). Lagu ini memang tengah memuncaki tangga lagu di radio pada berbagai negara, termasuk di tanah air. Lagu ini juga berkibar kencang di platform berbagai media sosial, sebutlah Spotify dan Tik-Tok di antaranya.

Semula, lagu dengan nuansa rap ini mungkin lebih "cocok" berada dan beredar di ibu kota atau perkotaan secara umum dengan idiom dan slang khas R&B di dalamnya. Apa boleh buat, kemajuan teknologi informasi mempercepat laju pengetahuan dan persepsi anak-anak kampung saat ini; apa yang dihadapi anak kota saat ini sebagai trend dan in, anak kampung juga kurang lebih sama merasakannya.

Eufemisme Kekerasan dan Pengaruhnya
Sayangnya, lagu Kill Bill memiliki makna yang cukup unik sekaligus miris. Sang penyanyi dengan santai menyuarakan keinginan atau malah telah membunuh pasangannya tanpa penyesalan setelah bubarnya hubungan mereka. "Repotnya", lagu ini dinyanyikan dengan beat yang ringan, easy listening, dan disuarakan dengan merdu di telinga. Itulah mengapa lagu ini cepat dinikmati beragam kalangan, termasuk anak-anak di kampung.

Judul lagu ini juga merujuk pada sebuah film dengan judul yang sama, berisi adegan penuh darah dan kekerasan hampir di sepanjang scene-nya, yang dibintangi oleh Uma Thurman dan dibesut sutradara sohor Quentin Tarantino (2003). Dalam konteks keterhubungan digital dan tersedianya informasi yang demikian mudah saat ini, anak-anak juga dengan gampang mencari tahu apa dan bagaimana lagu itu, kemudian bertemu dengan review dan informasi film ini. Jadinya, nuansa semula yang hanya tentang urusan lagu lantas berkembang menjadi informasi yang tidak tepat untuk menjadi konsumsi seumuran mereka.

Faktanya, orangtua dan guru tidak bisa membendung arus derasnya informasi yang diterima anak. Saat gawai berada di tangan mereka, informasi dan aneka pemahaman mengalir deras dan membayangi anak, bahkan saat mereka tidak meminta dan membutuhkannya secara sadar.

Perlu dipahami, anak juga memiliki ruang privat yang tidak selalu berada dalam jangkauan guru dan orangtua. Di ruang, kamar, dan kesempatan saat sendiri, jemari anak-anak mudah menjelajah lautan informasi nyaris tanpa batas lewat gawai yang sudah menjadi kebutuhan mereka. Kondisi yang memicu kegelisahan ini adalah kegetiran yang nyaring disuarakan Siva Vaidnyanathan dalam buku The Googlization of Everything and Why We Should Worry (2012).

Dalam kegamangan Vaidnyanathan, informasi yang ditawarkan mesin pencari Google, beserta perkembangan teknologi terkini semacam machine learning dan artificial intelligent, mampu membangun sistem pengetahuannya sendiri, bahkan lebih jauh mampu mengembangkan daya empati dan emosional seseorang (Andrew McStay dalam Emotional AI, The Rise of Emphatic Media, 2021). Kemasan chatbot yang difasilitasi artificial intelligent dapat saja menjadi konselor virtual anak-anak yang akan memberi anjuran dan mempengaruhi jalan pikiran mereka. Sampai di sini, kita paham bagaimana anak-anak dengan mudah mampu mengakses beragam informasi yang merisaukan, termasuk bagaimana mereka menerima kasar-menjurus-berbahayanya lirik lagu yang dikemas secara lembut dan riang.

Dalam konteks pola reseptif dan respons manusia atas unsur bebunyian sekitarnya, banyak pandangan yang melihat musik bukan hanya mengenai bebunyian dan lirik lagu yang didendangkannya. Musik dan lagu terhubung dengan sistem persepsi manusia dengan erat. Dalam konteks ini, Clemens Wollner dalam Audience Responses in the Light of Perception – Action Theories of Empathy (2017) bahkan meyakini bahwa musik dapat menjadi sarana efektif untuk membangun empati pada pendengar dan penikmatnya. Ia menyebutnya sebagai einfuhlung (kesediaan diri untuk ikut merasakan).

Meminjam pandangan Wollner, bisa saja apa yang terdengar kasar dan menjurus kekerasan dalam lirik lagu itu mendapat pemakluman dan terasa biasa saja bagi para pendengarnya. Dengan begitu, pengaruh musik dan lirik dengan beragam pendekatannya menjadi wajar dan sangat mungkin mampu mempengaruhi daya persepsi anak. Lagu, lirik, dan balutan irama yang mengiringinya pada dasarnya adalah bagian konteks bahasa dan medium interaksi dari subjek ke objek yang dituju (Hanafi, 2002).

Konteks kebahasaan dan apa yang terjadi atas anak anak di atas pada dasarnya merupakan situasi pemenuhan atas mindset eufemisme (penghalusan) persepsi kekerasan.

Dendang riang anak-anak ternyata dapat berisi ajakan untuk melakukan kekerasan dalam arti sebenarnya. Anak-anak yang belum paham tentang makna lagu tersebut akan memberi tantangan pada orang yang lebih dewasa untuk memaknai bagaimana dengan ringannya mereka berdendang "I might kill my ex", dan seterusnya.

Eufemisme lirik lagu dan konstruksi pemahaman anak yang menyertai, dengan sendirinya menjadi tantangan dan ujian bagi kesiapan manusia dewasa, sebutlah orangtua dan guru, untuk membangun pemahaman yang tepat pada anak dan tidak semata mengedepankan larangan dan perintah "jangan dengarkan".

Tentunya, anak-anak perlu mendapat pendampingan yang memadai dalam mencerna beragam hal di sekitarnya, termasuk dalam menghadapi perkembangan informasi dan hiburan. Dalam kaitan ini, menyenangi lagu yang berlirik sadistik (dan beragam fenomena serupa) beserta persepsi anak terhadapnya memantik pandangan pentingnya penguatan pendidikan karakter dan budi pekerti pada anak.

Peran Pendidikan Karakter dan Budi Pekerti
Pada dasarnya, masyarakat dan pemerintah memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan karakter. Bukan hanya memperhatikan nilai religius dan ajining dhiri dalam konsep eksistensi dan budaya manusia Indonesia, kesepahaman bangsa Indonesia juga tercermin dalam regulasi terkait pendidikan karakter, salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Pendidikan Karakter. Regulasi ini menegaskan bahwa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya merupakan negara yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti.

Terkait pentingnya penguatan pendidikan karakter pada anak dan satuan pendidikan, beberapa hal mendasar patut menjadi renungan bersama berdasar Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Pendidikan Karakter ini. Pertama, idealitas pendidikan karakter yang ingin dicapai adalah membangun dan membekali peserta didik sebagai generasi emas Indonesia terutama dalam menyongsong bonus demografi tahun 2045 dengan jiwa pancasila dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan.

Kedua, pendidikan karakter ditempuh dengan mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik dengan dukungan pelibatan publik yang dilakukan melalui pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia

Ketiga, Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah manifestasi kerja dan upaya bersama karena merupakan gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.

Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa lembaga pendidikan memiliki posisi penting dalam upaya penguatan pendidikan karakter dan penumbuhan budi pekerti. Upaya tersebut ditempuh secara terstruktur dari sejak mula menginjak lembaga pendidikan hingga keseharian kelas mereka, baik di sekolah maupun madrasah.

Selain kerja sama dan kolaborasi berbagai pihak dalam penguatan pendidikan karakter dan penumbuhan budi pekerti, yang juga menjadi penting adalah sikap terbuka orang ua dan publik untuk mengamati dan mengikuti perkembangan sosial budaya. Akselerasi perkembangan dan tantangan sosial budaya adalah disrupsi yang patut disikapi dengan tepat tanpa sikap reaksioner. Kendali sikap seperti ini setidaknya mampu menghindari kekagetan dan sikap berlebihan menghadapi hal-hal yang baru ditemui, termasuk mengenai eufemisme bahasa dalam lagu.

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag)

Artikel ini sudah ditayangkan di kolom opini detik.com pada 19 Mei 2023


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua