Kolom

Al-Kutubul Mu’tabarah

Mahrus eL-Mawa (Kasubdit Pendidikan Al-Qur’an, Alumni Pesantren Salafiyah Pemalang dan Al-Munawir Krapyak)

Mahrus eL-Mawa (Kasubdit Pendidikan Al-Qur’an, Alumni Pesantren Salafiyah Pemalang dan Al-Munawir Krapyak)

Islam di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam di Makkah dan Madinah sejak diajarkan kali pertama oleh Nabi Muhammad Rasulullah Saw., dijanjutkan para Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan para ulama madzhab sesudahnya. Kait kelindan ajaran Islam tersebut terekam pada teks-teks yang terangkum dalam Al-Kutubul Mu’tabarah. Istilah Al-Kutubul Mu’tabarah ini khas Indonesia, dan berkembang utamanya melalui pondok pesantren.

Al-Kutubul Mu’tabarah dalam istilah lainnya, al-Kutubul Qadimah, dimaksudkan untuk menyebut khazanah klasik. Menurut KH. MA Sahal Mahfudh dalam pengantar buku, “Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2015 M.)”, terkait kutubul muktabarah ini pernah dirumuskan pada Muktamar Situbondo, tahun 1984. Saat itu Kyai Sahal, panggilan akrabnya, masih menjadi Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah.

Kutubul Mu’tabarah merupakan kitab-kitab Ahlussunnah Waljama’ah dan dipersempit lagi kitab-kitab madzahib. Pembatasan kutubul muktabarah ini, oleh Kyai Sahal sudah ditentangnya ketika itu. Akan tetapi, mayoritas kyai yang hadir dari nahdliyyin itu kurang sependapat dengan Kyai Sahal dengan alasan preventif (syaddan li al-dzariah). Nampaknya, batasan kutubul mu’tabarah sebagai standar kitab dalam pembelajaran di pondok pesantren masih berlaku hingga saat ini.

Kutubul Mu’tabarah ini terkait erat dengan forum ilmiah di lingkungan NU, yaitu Bahsul Masa’il. Yaitu, sebuah forum para kyai ahli hukum Islam (fuqaha’) dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang berkembangan di masyarakat, baik aspek ekonomi, politik, budaya, kesehatan, maupun hal-hal kontemporer. Kumpulan hasil bahsul masa’il sejak tahun 1926-2015, telah dikodifikasi menjadi sebuah buku berjudul Ahkamul Fuqaha.

Usia forum bahsul masa’il ini seusia dengan NU sendiri. Bahsul Masa’il ini, kemudian berubah menjadi lajnah hingga namanya menjadi, Lembaga Bahsul Masa’il di PBNU. Maraji’ (referensi) dalam bahsul masa’il harus mengacu pada kutubul muktabarah ini.

Definisi al-kutubul mu’tabarah ini ditegaskan lagi pada Musyawarah Nasional (Munas) Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung tahun 1992, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah, syariat, dan tasawuf Ahlussunnah Waljama’ah. Di antara keputusannya, antara lain: “Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam yang besar di Indonesia mempunyai tanggung jawab besar pula dalam memajukan kehidupan beragama Islam di Indonesia. Sebagai organisasi Islam yang mempunyai tradisi keilmuan yang akrab dengan “khazanah lama” (al-kutub al-mu`tabarah), secara fungsional salah satu tugas yang dipikulnya adalah memberikan petunjuk pelaksanaan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan. Dalam melaksanakan tugas seperti di atas, khazanah lama (al-kutubul-mu`tabarah) tersebut selalu menjadi rujukan andalan. Segala persoalan diusahakan agar dicarikan penyelesaian melalui rujukan tersebut.”

Kutubul Mu’tabarah ini terdiri dari sejumlah kitab dalam berbagai bidang kajian. Untuk kitab tauhid/akidah/kalam merujuk pada karya Imam Asy’ari dan Imam Maturidi serta para pengikutnya. Untuk kitab syariat/fiqhul Islam bersumber dari madzahibul arba’ah (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hanbali, dan Imam Syafi’i) dan para pengikutnya. Adapun untuk kitab tasawuf, referensi utamanya adalah karya Imam Ghazali dan Imam Al-Junaidi serta para pengikutnya. Di antara nama-nama kitab yang populer di pesantren antara lain Bughyat al-Mustarsyidin, Hasyiyat I’anat al-Talibin, Majmu’at Sab’at Kutub Mufidah, Minhajut Tholibin, Manhajut Thullab, Fathul Wahab, Fathul Mu’in dan Fathul Qorib.

Selain kutubul mu’tabarah tersebut, disebut al-kutub gair al-mu’tabarah. Menurut Kyai Sahal, disebut gairu mu’tabarah itu antara lain, terdapat bagian kitabnya yang mengecam tawasul, mengkritik para wali atau semacamnya, seperti kitab karya Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qayyim.

Pada bulan puasa Ramadlan, sebagian kitab dari al-kutubul mu’tabarah juga dikaji dalam “ngaji pasanan” di beberapa pesantren, yang secara khusus dibaca untuk dikhatamkan kitabnya biar memperoleh keberkahan. Melalui al-kutubul mu’tabarah ini pula ajaran Islam yang berkembang di dunia Arab atau Timur Tengah tersebar hingga ke Indonesia sampai dengan saat ini. Wallahu a’lam.

Mahrus eL-Mawa (Kasubdit Pendidikan Al-Qur’an, Alumni Pesantren Salafiyah Pemalang dan Al-Munawir Krapyak)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat

Lainnya Lihat Semua