Kisah Inspiratif

Ramdani: Ustad Betawi Pengajar Al-Qur’an di Tengah Masyarakat Urban

Ramdani adalah ustad Betawi yang mengajarkan Al-Qur’an di tengah masyarakat urban. (Foto: Abdullah Alawi).

Ramdani adalah ustad Betawi yang mengajarkan Al-Qur’an di tengah masyarakat urban. (Foto: Abdullah Alawi).

Sebelas anak muda duduk berjajar sila setengah lingkaran. Masing-masing menghadapi lekar (meja kecil biasa digunakan sewaktu mengaji) yang di atasnya terbuka kitab suci al-Qur’an. Mereka kemudian membaca bersama-sama surat ath-Thariq. Tapi tiba-tiba mereka berhenti ketika seseorang memukul lekar dengan buku- buku jari tangannya. Mereka mengulang satu kalimat. Jika buku jari itu kembali mengetuk, mereka mengulang kembali.

Sebelas anak itu sedang diperiksa bacaannya, mulai makhorijul huruf, tajwid, dan waqafnya. Jika ada yang tak beres, maka ketukan itu berbunyi. Sumbernya dari tangan Ustadz Ramdani yang duduk bersandar ke tiang di hadapan mereka.

Pemeriksaan bacaan itu rutin dilakukan tiap malam, kecuali malam Jum’at. Tiap malam membaca satu surat pada juz 30. Ketika sampai surat An-Nas, esoknya mereka akan memulai lagi dari ‘amma yatasyalun demi menjaga hafalan juz terakhir tersebut. Begitu putaran waktu sebelas anak yang dilakukan selepas Isya di Majelis Ta’lim Al-Guroba, Binong, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, Banten.

Mereka tidak hanya diperiksa bacaan, tapi juga menghafalnya. Pagi selepas Subuh, mereka akan setor beberapa ayat ke Ustadz Ramdani. Siang, selepas Dzuhur, mengulang hafalan. Sore setor. Maghrib mengulang. Kemudian ketemu Isya lagi, diperiksa bacaan juz 30.

Pada Ashar dan Maghrib, mereka harus menyatu dengan santri kalong. Waktu Ashar, sekitar 40 anak datang ke majelis itu. Rata-rata usia mereka 10 tahun ke bawah. Mereka akan belajar membaca Iqro di berbagai tingkatan, menghafal doa-doa, ayat-ayat pendek, serta Ratibul Haddad.

Selepas Maghrib, sekitar 50 anak datang lagi ke masjid itu. Kali ini usia mereka 10 tahun ke atas sampai usia kelas 3 SMA. Mereka juga belajar membaca al-Qur’an dan menghafalnya. Sebelum dihafal, mereka diberi tahu dulu cara membacanya.

Cara mengaji di majelis itu adalah, sekitar tiga anak maju dengan al-Qur’annya masing-masing ke hadapan Ramdani. Kemudian membacakaan ayat masing-masing secara bersamaan. Bisa saja mereka membaca ayat berbeda karena capaian ketiganya berbeda. Masing- masing membacakannya sampai tiga ayat. Anak yang tidak dikoreksi, dia akan segera mundur. Sementara yang belum lancar, akan tetap di situ sampai bisa. Setelah bisa, dia akan mundur juga digantikan yang lain. Terus begitu. Ramdani menyimak semuanya dengan cermat dan benar. Ia memejamkan mata, sesekali buku tangannya mengetuk lekar, jika bacaan sang anak meleset.

“Bapak itu aneh, ngantuk aja tahu kalau bacaan saya salah. Padahal ia menyimak bacaan tiga orang,” ujar Syahrul, salah seorang santri.

Ramdani adalah sedikit ustadz yang hafal al-Qur’an 30 juz di luar kepala. Bahkan Iqro saja hafal karena saking seringnya mengajar. Kemudian menyimak bacaan anak- anak seperti dengan perasa saja. “Yang salah itu anak mana saya nggak tahu,” katanya, “Tapi telinga saya merasakan ada yang salah baca,” lanjutnya.

Sementara membagi konsentrasi, fokus ketiga anak dengan bacaan berbeda, menurut dia karena sering dilakukan dan dalam waktu lama, bertahun-tahun. “Siapa pun bisa kalau sering dan lama melakukannya,” katanya.

Menghafal dari Depan dan Belakang

Kesebalas anak itu adalah para santri yang tidur di pondok yang didirikan Ramdani. Ia menamainya dengan Bustanu Musyaqil Qur’an. Di situ cuma tiga kamar kecil. Di antara mereka ada yang masih sekolah formal, hanya mengaji, dan mengaji sambil bekerja. Makan dan minum ditanggung Ramdani. Bahkan yang yatim piatu disedikan uang jajan.

Santri-santri itu penghafal al-Qur’an itu dibagi dua kelompok. Bagi yang hanya ngaji, memulai menghafal dari juz 1 ke belakang. Sementara yang masih sekolah dan bekerja dari juz 30 mundur. Capaian tertinggi santri yang cuma menghafal atas nama Syahrul Ramadhan. Anak Betawi itu sudah hafal 21 juz. Sementara yang masih sekolah atas nama Ilman Fernando Chaniago. Di bawahnya ada Fajri, anak Prubalingga yang hafal 10 juz. Anak keturunan Sumatera Barat yang sekarang duduk di kelas 1 SMA tersebut hafal 6 juz dari juz 30 ke juz 24.

“Awalnya ngaji aja nggak mau. Dianterin orang tuanya ke sini, nggak ngaji, nggak apa, nangis mulu,” kata Ramdani mengisahkan Ilman yang masuk tahun 2012.

Sekali waktu ada orang tua yang menceritakan nilai anaknya di sekolah jelek. “Santai saja. Kita lihat perubahannya. Nanti kalau dia sudah tahu caranya menghafal akan berubah,” jawab Ramdani. Jawaban Ramdani tidak omong kosong. Sekarang banyak anak yang ngaji di situ menduduki peringkat satu di kelasnya. Bisa dipastikan anak-anak majelis berada dalam 10 besar di tingkatannya masing-masing. Termasuk Syahrul waktu sekolah, ia tak lepas dari peringkat 2 atau 3. Sementara ranking 1 juga dari majelis itu. “Kalau sudah tahu metodenya menghafal ya begitu,” katanya.

Keberhasilan Ramdani juga ditunjukkan pada sebelas anak itu. Selain Syahrul 21 juz, ada Fajriyanto 10 juz, Ilman 6 juz, Ilham 4 juz, Akbar, Afwan, dan Alfin 2 juz, Rayan 2 juz. Sementara Bakti dan Yudha baru mulai menghafal. Serta puluhan anak yang sudah menghafal doa-doa, surat pendek, dan Ratibul Haddad.

Keberhasilan itu didapat karena keseriusan dari dua belah pihak, Ramdani dan santri-santrinya. Terutama tekun menghafal dan disiplin jadwal. Sebentulnya, jadwal itu longgar dan bisa dikatakan berbeda. Misalnya, Syahrul hari Senin pagi setoran, siang ngulang, sore hafalan. Maghrib membantu mengajar ngaji tak lebih dari 4 sampai 5 orang. Sama Ucok menghafal doa-doa, hafalan fikih, dan tauhid.

Mulanya dari Radio

Pria kelahiran Cileduk, Jakarta 1976 tersebut mengaku berasal dari keluarga pedagang. Hampir semua saudaranya berprofesi itu. Selepas SD tiba-tiba saja dia ingin mondok, ia nyantri sambil sekolah SMP di salah satu pesantren salafi modern di Kebon Jeruk, Jakarta Barat asuhan KH Dasuki Adnan.

Menurut dia, mulanya minat ke pondok pesantren karena pas kecil sekitar tahun 80an, tiap pagi ayahnya mendengar ceramah-ceramah agama di radio atau lagu- lagu qasidah dan gambus berbahasa Arab. Suatu ketika ayahnya pernah bilang, “Jadi penceramah dan guru ngaji itu enak. Tidak kerja.”

Minatnya pada ilmu agama, selepas SMP ia lanjutkan nyantri sambil sekolah di Pesantren Darut Tafsir, Bogor, Jawa Barat, asuhan K.H. Istikhori Abdarurohman. Selepas lulus, ia balik lagi ke rumah. “Nganggur, kerja nggak, kuliah juga nggak,” katanya.

Kemudian Ramdani memaksa orang tuanya untuk melanjutkan mondok. Padahal waktu itu ayahnya meminta lanjutkan kuliah. Ia bersikeras mondok lagi. Kali ini ingin ke pesantren khusus hafalan al-Qur’an.

Akhirnya tahun 1995, ia diberi ongkos Rp. 200.000,- oleh orang tuanya. Tujuannya kota Demak, Jawa Tengah. Kota itu ia tuju bukan tak berdasar, melainkan atas keterangan gurunya semasa di Darut Tafsir. Di daerah tersebut, pesantren khusus menghafal al-Qur’an bernama Pesantren Bustanu Musyakil Quran, taman pencinta al- Qur’an di bawah asuhan KH Harir Muhammad.


Di situlah ia kemudian membaca al-Qur’an bin nadhar selama 6 bulan. Ketika akan melanjutkan menghafal al-Quran, ia disuruh pulang dulu, diminta kiainya untuk meminta izin orang tua memulai menghafal al-Qur’an. “Karena sudah terpaksa, orang tua memberikan izin. Saya ingin dikuliahkan sama orang tua sampai S3,” terangnya.

Soal izin orang tua ini, ia terapkan juga di majelisnya. Anak harus diantar orang tuanya. Jika anaknya bolos, orang tuanya akan dipanggil, ditanya keseriusan mengaji di situ. Jika tidak serius, anak itu diminta pidah ke majelis lain. Itu ia lakukan supaya tidak meracuni temannya yang lain. Tidak mencontohkan untuk bolos dan sebagai peringatan bagi yang lain supaya serius menyimak bacaan kakak kelas

Tekad bulat Ramdani menjadi penghafal al-Quran sejak di Darut Tafsir. Di pondok itu, salah seorang kakak kelasnya sedang menghafal al-Qur’an. Karena santri lain tak ada yang mau menyimak bacaannya, Ramdani, karena tidak enak, mau melakukannya. Tiap pagi, bertahun tahun mendengarkan bacaan orang lain.

Pada waktu itu, kakak kelasnya, Muhibbudin tersebut sama sekali tak pernah mengajak apalagi menyuruhnya ikut menghafal. Ia hanya minta bantuan menyimak saja. Tapi dua tahun kemudian, timbul keinginan Ramdani turut menghafal juga. Selama di pesantren itu, dia sampai hafal 3 juz.

Ketika di Demak ia, mampu menghafal 30 juz selama tiga tahun. “Selama itu, bin nadhar dihabiskan 6 bulan, sementara 2 tahun 3 bulan bil ghaib, setelah itu pulang. Tahun 1998 sudah selesai.”

Tahun 1999 kembali ke Pesantren Darut Tafsir. Selain menjaga hafalan, ia mengajar al-Qur’an serta memperdalam kitab kuning. Ia juga belajar menerjemah bahasa Arab pada teman sesama santri bernama Abdullah. Aktivitas semacam itu dimanfaatkan 2,5 tahun. Selain sering sowan ke kiai-kiai Jakarta seperti K.H. Abdul Ha- mid, Mampang. Kadang meski sekadar mendengarkan obrolan, serta memijat kaki atau tangannya. Sesekali dari pukul 21.00 sampai subuh.

Kegiatan di Pesantren Darut Tafsir terhenti ketika orang tua memintanya membantu di rumah. Ia harus dagang. Waktu itu, ia belajar mengobati dengan doa yang ia dapatkan dari teman temannya sewaktu Demak. Tapi kemudian dilarang KH Musyafa Umar, gurunya yang lain. “Dagang, agen warung, ikut bantu belanja nganter sampai setahun. Di rumah paling dua hari,” jelasnya.

Yang jelas waktu itu ia merasa banyak ujian dalam menjaga hafalan. Tapi ia ingat, bahwa itu memang ujian yang sudah diwanti-wanti dari para gurunya bagi seorang penghafal.

“Sambil ngajar, sambil kuliah, belajar di Kampus Shalahudin al-Ayubi. Sampai skripsi ditinggalin. Biayain sendiri, jurusan PAI. Pengalaman aja sih,” ujarnya.

Tahun 2002 waktu sangat menentukan. Ramdani menikah dengan gadis kelahiran Desa Binong. Di situ ia mengajar sekolah formal di yayasan pendidikan milik mertuanya. Di tengah aktivitasnya, ia tetap merawat hafalannya. Bercita-cita juga ingin membangun majelis sendiri untuk penghafal al-Quran. “Orang yang hafal itu berharap, ada juga yang bisa menghafal selain diri sendiri,” katanya.

Ramdani percaya, mengajarkan baca al-Qur’an dan membimbing orang lain menghafalkannya, pahala akan mengalir terus. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, pada tahun 2010, ia berhenti total dari aktivitas mengajar di sekolah formal. Ia membangun majelis di atas tanah miliknya. Kemudian tahun 2011 mulai membangun pondok 3 kamar. Kepada para santri yang mengaji ia menyusupkan cerita-cerita serta keutamaan penghafal al-Qur’an, mulai dari hadist nabi serta kisah nasihat para ulama. “Sering ngasih motivasi dan bercerita keutamaan orang-orang menghafal al-Qur’an,” kata Syahrul. “Nanti penghafal al-Qur’an berhak mensyafaati 10 orang keluarganya di akhirat. Waduh banyak juga ya. Pengalaman itu saya ingat terus sampai sekarang,” lanjut santri generasi pertama tersebut.

Umumnya yang mendorong para santri semangat mengaji karena berdasarkan cerita para orang tuanya, leluhurnya jauh dari agama. Ada yang seumur-umur tidak sembahyang. ”Motivasi itu sangat luar biasa banget bagi saya. Saya ingin menyelamatkan keluarga,” katanya.

Penulis: Abdullah Alawi

====

Artikel liputan ini pertama kali dimuat dalam buku "Mendidik Tanpa Pamrih. Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam" (Jakarta: Kemenag RI, 2015).

Kisah Inspiratif Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
30 Juz atau Juz 30?
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Filosofi Tiga Ujung
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Jejaring dan Mobil Mogok