Daerah

Mengelola Tahun Kerukunan Umat Beragama dengan Variasi Kebijakan dan Kesiapan SDM

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, Ahmad Qosbi

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, Ahmad Qosbi

Medan (Kemenag) --- Ditetapkannya 2023 sebagai Tahun Kerukunan Umat Beragama oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjadi momentum penting untuk memeriksa kesiapan jajaran Kementerian Agama dalam merespons penetapan tersebut.

Kerukunan umat beragama kerap menjadi sorotan di tengah potensi negatif yang membayangi kualitas kehidupan beragama di tanah air. Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk melihat kesiapan jajaran Kementerian Agama dalam merespons implementasi Tahun 2023 sebagai Tahun Kerukunan Umat Beragama.

Tanpa mengabaikan kesiapan dan capaian wilayah lain, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara menunjukkan berbagai kebijakan dan praktik baik dalam mengembangkan moderasi beragam adi Sumatera Utara dan perspektif penguatannya ke depan. Gambaran tersebut diperoleh saat sesi wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, Ahmad Qosbi, di Medan (15/5/2023).

Wawancara dipandu dan ditulis oleh Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag pada Subdit PAI PAUD/TK Direktorat PAI).

Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama 2023 di Surabaya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mencanangkan 2023 sebagai Tahun Kerukunan Umat Beragama. Disampaikan pula oleh Menag tentang kekhawatiran dan perlunya antisipasi terhadap hal-hal yang berpotensi mengganggu keharmonisan umat beragama. Terkait hal tersebut, bagaimana respons Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumut?

Sumut adalah salah satu provinsi yang dihuni beragam etnis dari berbagai belahan dunia. Kota Medan menjadi pusatnya. Dalam perbedaan itu, masyarakat sangat menjunjung toleransi dan keharmonisan umat beragama.

Jika ditarik dalam ranah sejarah, kita sadar bukan tidak ada masalah yang terjadi. Namun demikian, para pemuka agama telah mengembangkan kebersamaan dan musyawarah untuk mengatasi konflik yang menjurus pada isu keagamaan, sehingga kondisi ini tidak berkembang lebih jauh. Tindakan radikalistik yang terjadi pun bukan merupakan tindakan kelompok, melainkan tindakan yang bersifat personal. Sampai hari ini, kita tidak merasakan kerusuhan yang signifikan, paling gesekan-gesekan kecil.

Dalam kaitan ini, kami merasa harus lebih meningkatkan awareness dan kecepatan antisipasi dalam kaitan konflik keagamaan. Sebagai contoh, belum lama ini terjadi masalah mengenai pendirian wihara di salah satu wilayah di Sumut. Kami bukan tidak mendengarnya, kami sudah mendengar dan sedang berkoordinasi dengan Kankemenag setempat. Namun demikian, melalui media sosial dan jejaring informasi, ternyata Menteri Agama telah lebih dahulu mendengarnya daripada kami di Kanwil dan mengingatkan kami di saat kami sedang berkoordinasi dengan aparat setempat.

Kasus itu sendiri berakar dari penyalahgunaan KTP di Deli Serdang untuk pendirian Wihara di mana tadinya KTP diperuntukkan pembuatan jalan raya tapi kemudian dialihkan ke pendirian rumah ibadah. Kasus ini sempat berkembang dan menjadi perhatian banyak pihak. Menteri Agama dan para staf khusus segera mengetahui kasus ini karena kecepatan media informasi. Hal demikian memacu kami untuk lebih menelusuri kondisi kerukunan umat beragama di Sumut.

Saya pikir hal demikian menjadi penting karena, secara kesejarahan, Sumut ini sudah sejak dahulu adalah plural. Saya dorong para kankemenag dan unsur lainnya untuk menguatkan kondisi keberagaman yang sudah tercipta dengan harmonis dalam berbagai langkah dan kebijakan yang relevan.

Gus Menteri juga sudah mengingatkan, kita perlu lebih meningkatkan upaya sosialisasi moderasi beragama, karena di luar sana banyak pihak yang masih belum tahu apa itu moderasi beragama. Mereka harus kita sentuh dan ajak bicara tentang moderasi beragama. Bisa jadi, selama ini kita belum mampu mengembangkan komunikasi yang padu dan produktif dengan jajaran pimpinan daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopminda).

Dalam kondisi seperti ini, kita perlu mengembangkan semangat dasar harmonisasi moderasi beragama dalam empat indikator, yakni komitmen berkebangsaan, toleransi yang kuat dalam bentuk bergandeng bahu (bukan hanya bergandeng tangan), anti-kekerasan, dan menerima tradisi yang ada di Indonesia.

Pada upaya penting ini, kita perlu mengembangkan strategi yang tepat untuk benar-benar mampu menyentuh titik sadar masyarakat tentang moderasi beragama ini. Dalam pandangan saya, sebelum kita menyentuh masyarakat dalam berbagai sosialisasi moderasi beragama ini, kita perlu memulai langkah tersebut dari dita sendiri dulu. Kita harus memoderatkan diri kita dulu sebelum sosialisasi tentang moderasi beragama pada pihak lain.

Entah kita selaku narasumber atau instruktur dalam konteks moderasi beragama, pertama sekali adalah kita harus moderatkan diri kita dahulu.

Saat ini kita tengah mengembangkan sistem aduan masyarakat (dumas) berupa respons terhadap potensi konflik kerukunan beragama. Kita akan kembangkan sistem reaksi cepat penanganan isu kerukunan umat beragama di masyarakat dan jajaran kita di kantor kemenag provinsi dan kabupaten/kota di Sumut.

Kita sadar, kemajemukan ini harus terus dijaga dari upaya dan kemungkinan yang hendak merusaknya. Bagaimana kebijakan tersebut diwujudkan pada tataran operasional di lapangan?

Kita sudah ajak para Kankemenag untuk mengantisipasi berbagai efek negatif tahun politik. Ditetapkannya tahun 2023 sebagai Tahun Kerukunan Umat Beragama pada dasarnya adalah upaya Gus Men untuk mengantisipasi beragam kemungkinan yang akan terjadi terkait kemungkinan perpecahan di masyarakat.

Dengan sistem dumas yang akan kita kembangkan, kita akan antisipasi sejak dini kemungkinan dan tantangan yang ada terkait kerukunan umat beragama di Sumut.

Melalui beragam pendekatan kebijakan yang kami jalankan ini, sesungguhnya salah satu pesan penting di dalamnya adalah bagaimana kita mendorong sumber daya manusia di kanwil Sumatera Utara agar lebih berdaya dan meningkat kualitas kompetensinya. Tanpa SDM yang mumpuni, kita tidak akan mampu beradaptasi dengan perkembangan dan memenuhi ekpektasi publik, termasuk dalam konteks moderasi beragama.

Dalam kaitan layanan tentang moderasi beragama bagi para millennial, kami akan bekerja sama dengan PTKIN kita (UINSU) untuk merumuskan pola, strategi, dan platform yang tepat untuk mendekati generasi millennial. Jangan lupa, kita tetap perlu menjaga semangat yang dikembangkan Bapak Presiden, yakni "kerja, kerja, dan kerja". Dalam konteks ini, kita bekerja dan berkolaborasi untuk Moderasi Beragama.

Dalam pandangan Bapak, apa dan bagaimana tantangan untuk mewujudkan kerukunan umat beragama?

Salah satu tantangan serius dalam konteks kerukunan umat beragama adalah pemahaman tentang sejarah berdirinya negara kita. Indonesia yang ditopang dan dibangun dengan kesepakatan untuk menegakkan "Bhinneka Tunggal Ika" kadang luput kita pahami dengan utuh. Banyak kita dapati ceramah-ceramah agama yang isinya tidak menjukkan sejarah berdirinya Indonesia dengan tepat.

Masih banyak pandangan yang bersifat membenturkan antara nilai agama dan sejarah serta dasar negara, padahal, jika kita belajar sejarah berdirinya negara ini, hal tersebut jelas bukan merupakan sesuatu yang patut dibenturkan. Sudah dari dahulu kita kita dididik dan diajarkan dengan perbedaan agama, suku, dan budaya.

Jika kita mampu mensinergikan pemahaman berdirinya negara ini dan pandangan keagamaan kita, maka sesungguhnya kita akan merasakan nikmat dalam berbangsa dan bernegara. Tidak akan ada sikap membenturkan kebenaran pemahaman berbangsa dan bernegara dengan sikap keagamaan kita. Yang ada adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan beragama. Saya pikir inilah esensi harmoni kerukunan umat beragama.

Dalam kesempatan berkunjung ke Kecamatan Salapiyan, Langkat, kami mendapati banyaknya rumah ibadah yang berdiri secara berdampingan. Lebih jauh, bahkan ada upaya dari FKUB dan MUI setempat untuk membuat rekor MURI (terkait jumlah rumah ibadah) dan keinginan menjadi semacam laboratorium Moderasi Beragama di Sumatera. Bagaimana Bapak melihat hal ini?

Upaya seperti itu tentu positif saja, tapi jangan hanya target rekor MURI yang menjadi tujuan utama. Kita harus jadikan bagaimana pemanfaatan rumah ibadah itu bisa berjalan dengan maksimal. Itu yang jauh lebih penting. Jangan dapat rekornya tapi ibadahnya tidak jalan.

Dalam kaitan ini, saya melihat apa yang dikembangkan sebagai wisata Rohani di Kabupaten Dairi, relevan untuk kita pelajari bersama. Berbagai replika dan sejarah kebudayaan mulai Nabi Adam yang dibuat di kompleks wisata rohani itu, langsung maupun tidak langsung, sesungguhnya sudah menjelaskan bahwa pandangan bertuhan kita itu sama. Kita hanya berbeda jalan dan cara untuk beribadah padaNya.

Dari praktik Wisata Rohani di Dairi, saya mendapat gambaran betapa keberagamaan umat manusia dapat diibaratkan sebagai satu kakek beda nenek. Demikian pula praktik baik budaya lokal di Nias di mana masyarakat memeiliki tradisi suka berkumpul dan membahas beragam hal di seputar kehidupan mereka. Baik di Dairi, Nias, maupun daerah lainnya di Sumut, saya pikir kita perlu lebih terorganisir dalam mengelola konsep dan praktik moderasi beragama serta berbagai terobosan yang hendak dijalankan.

Poinnya, saya menyambut baik inisiatif penguatan dan sosialisasi moderasi beragama, di samping berbagai upaya penguatan lainnya dengan tekanan pada sikap yang fokus, terarah, dan terorganisir dengan baik.

Saya mendapat laporan bahwa Kabupaten Langkat hendak mengembangkan penguatan moderasi beragama di madrasah Aliyah dan SMA, sementara Kabupaten Batubara sudah membuat (gedung) Moderasi Beragama Center, demikian juga geliat moderasi beragama pada daerah lainnya. Tadi juga disampaikan bahwa Langkat hendak mengembangkan diri sebagai, katakanlah, laboratorium moderasi beragama melalui praktik toleransi di beberapa wilayahnya, khususnya Kecamatan Salapiyan.

Berbagai langkah positif ini akan kami dukung, fasilitasi, dan monitoring agar bisa menjadi kerja bersama. Apa harapan Bapak mengenai pelaksanaan moderasi beragama di Sumatera Utara ke depannya?

Salah satu nilai Moderasi Beragama adalah tawasuth (pertengahan). Pada sisi lain, wasit, dalam pemahaman saya, merupakan bagian dari Bahasa Arab. Secara maknawi, kita tahu peran dan tugas wasit adalah selaku penengah dalam sebuah .

Penjelasannya begini, saat kita mampu mengembangkan sikap moderat, sesungguhnya kita sedang menjadi wasit atas kondisi persatuan dan kerukunan di tanah air. Kalau wasitnya baik, berarti permainan akan berjalan dengan baik, demikian pula sebaliknya. Dengan permainan yang bagus, maka penonton akan menikmati dan larut dalam permainan tersebut.

Saya berharap, ke depannya kita dapat menjadikan sikap toleran sebagai cara berpikir dan bertindak bersama di tengah perbedaan dan keragaman yang ada. Dengan semangat seperti ini, saya pikir pencanangan Tahun Kerukunan Umat Beragama dapat kita wujudkan bersama dalam bentuk harmoni masyarakat yang terjaga.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Daerah Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua