Buddha

Membangun Keluarga Hita Sukkhayya

Membangun Keluarga Hita Sukkhaya (Ilustrasi: Mega)

Membangun Keluarga Hita Sukkhaya (Ilustrasi: Mega)

“Sace labhetha nipakaṁ sahāyaṁ,
saddhiṁ caraṁ sādhuvihāridhīraṁ;
abhibhuyya sabbāni parissyāni,
careyya tena’ttamano satīmā”

“Apabila engkau menemukan seorang teman yang sesuai,
yang berkelakuan baik dan bijaksana,
hendaknya engkau berjalan bersamanya,
dengan gembira, dan penuh
kesadaran mengatasi segala rintangan” (Dhammapada, Bab XXIII: Nāga Vagga, 328)

Umat Buddha terdiri dari dua kelompok, yaitu umat perumah tangga (gharavasa) dan umat yang tidak berumah tangga (pabbajita). Seorang umat Buddha dapat menentukan pilihannya dengan bebas untuk hidup berumah tangga maupun menjadi seorang pabbajita.

Keluarga ideal secara umum merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang terikat atau didahului dengan perkawinan. Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antarpribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antarpribadi.

Kehidupan berkeluarga harus dijalin dengan meminimalisir egosentrisme. Seorang istri maupun suami hendaknya lebih mementingkan hubungan dan kepentingan keluarga daripada pribadi. Hubungan demikian merupakan pertalian dua kepentingan dan pengorbanan yang dilakukan demi kepentingan bersama.

Sikap saling memahami antarpasangan dapat mewujudkan rasa rasa aman dan puas dalam sebuah kehidupan perkawinan. Setiap pasangan akan melewati proses yang panjang untuk saling belajar memahami dalam menjalani kehidupan berumah tangga, karena tidak ada jalan pintas untuk menuju kebahagiaan dalam perkawinan.

Tidak ada dua orang yang bisa langsung hidup bersama dalam hubungan emosional yang intim dalam waktu yang lama tanpa harus berhadapan dengan kesalahpahaman dan perselisihan yang timbul dari waktu ke waktu. Sikap saling memahami dan toleransi sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan yang ada, seperti rasa cemburu, marah, dan/ atau curiga.

Kesuksesan dalam menjalani kehiupan perkawinan didasarkan pada keharmonisan (keserasian) daripada sekedar mencari pasangan yang tepat. Kedua belah pihak terus menerus berusaha menjadi orang yang mempunyai sikap saling menghormati, memahami, mencintai, dan memperhatikan anggota keluarga yang lain.

Termuat dalam Digha Nikaya III, 152, 232 dan Anguttara Nikaya II, 32 Sang Buddha bersabda: “demikianlah perumahtangga, bila wanita dan pria keduanya mengharapkan hidup bersama pada kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang, maka mereka harus memiliki 4 (empat) hal yaitu: keyakinan yang sebanding (samma saddha), sila/perilaku yang sebanding (samma sila), kemurahan hati yang sebanding (samma cagga), dan kebijaksanaan yang sebanding (samma panna)”.

Empat sikap dalam mencari pasangan hidup tersebut selaras dengan uraian Buddha (Anguttara Nikaya II, 61), “pasangan suami istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka cita mencapai kebahagiaan yang diidam-idamkan”.

Selain tujuan perkawinan untuk membentuk rumahtangga yang aman, damai, rukun dan sejahtera pada kehidupan sekarang, masing-masing individu juga mengharapkan agar perkawinannya dapat berlanjut hingga ke kehidupan selanjutnya setelah dipisahkan oleh kematian dalam kehidupan yang sekarang.

Buddha menjelaskan Dhamma kepada Anathapindika (Anguttara IV, 62) tentang kebahagiaan beruas empat dari seorang umat perumah tangga, yaitu: perpaduan kesejahteraan dan kebahagiaan spiritual.

Kebahagiaan beruas empat tersebut, meliputi: (1) Atthi-Sukha (kebahagiaan karena memiliki harta kekayaan), (2) Boga-Sukha (kebahagiaan karena dapat mempergunakan kekayaan), (3) Anana-Sukha (kebahagiaan karena terbebas dari utang); dan (4) Anavajja-Sukha (kebahagiaan karena telah berbuat sesuai Buddha Dhamma).

Terdapat empat macam pasangan dalam perkawinan di dunia ini, seperti halnya yang disabdakan oleh Buddha (Anguttara II, 57-58), yaitu: (1) Raksasa dan raksesi, suami istri merupakan pasangan yang sama-sama berkelakuan jahat/buruk (hina); (2) Raksasa dan dewi, seorang suami yang berkelakuan buruk berpasangan dengan istri yang berkelakuan baik (berbudi luhur); (3) Dewa dan raksesi, suami yang berkelakuan baik berpasangan dengan istri yang berkelakuan buruk; dan (4) Dewa dan dewi, pasangan ini sama-sama mulia karena keduanya sama-sama berkelakuan baik (berbudi luhur).

Berdasarkan pada penjelasan tersebut, perkawinan dewa-dewi yang berbahagia dan dipuji oleh Buddha. Para perumah tangga, calon suami-istri, maupun pasangan suami istri hendaknya dapat menjadikan pasangan dewa-dewi sebagai role model dalam menjalani kehidupan perkawinan.

Sang Buddha berkata, “Jika seorang pria dapat menemukan seorang istri yang cocok dan memahami, dan seorang wanita dapat menemukan seorang suami yang cocok dan memahami; sesungguhnya mereka berdua sangatlah beruntung.” Saudara sedhamma yang berbahagia, semoga kita senantiasa dapat menjalani kehidupan rumahtangga dengan baik dan selalu berpegang teguh pada Dhamma ajaran Buddha sehingga kita dapat membangun keluarga yang bahagia sejahtera (Hita Sukkhaya).

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata,
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Penulis: Martini, S.Ag. (Penyuluh Agama Buddha Kantor Kementerian Agama Kabupaten Boyolali)


Fotografer: Istimewa

Buddha Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua