Opini

Menggagas Integrasi Survei Keberagamaan Masyarakat Indonesia

Rosidin (Statistisi Ahli Madya Kementerian Agama)

Rosidin (Statistisi Ahli Madya Kementerian Agama)

Indeks Kerukunan Umat Beragama (Indeks KUB) identik dengan Kementerian Agama (Kemenag). Tentu saja, karena Indeks KUB adalah indikator kinerja bagi kementerian yang bertanggungjawab terhadap pembangunan di bidang agama. Indikator tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Indeks KUB adalah satu-satunya indikator kerukunan yang tertuang dalam dokumen resmi negara.

Sejarahnya, pengukuran Indeks KUB mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006. Peraturan ini mengikat kepala daerah, sebagai pijakan membina kerukunan umat di wilayah kerjanya, pemberdayaan FKUB dan termasuk pendirian rumah ibadat.

Sejak 2012, Kemenag merintis dan hingga kini rutin setiap tahun mengukur kondisi KUB Indonesia melalui tiga indikator. Indikator Indeks KUB mencakup toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Pengukuran ini menyasar masyarakat secara umum yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Sampel diambil secara acak bertingkat (stratified random sampling) sampai ketemu individu sebagai responden di tingkat rumah tangga.

Perkembangan berikutnya, muncul Indeks Kesalehan Umat Beragama. Indeks ini tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Agama 2020-2024 sebagai Indikator Kinerja Sasaran Strategis (IKSS). Di sana telah ditargetkan angka 86,08 di tahun 2024. Namun pada praktiknya nomenklatur tersebut bergeser menjadi Indeks Kesalehan (Sosial) Umat Beragama atau lebih dikenal sebagai Indeks Kesalehan Sosial (IKS).

Responden sasaran pengukuran IKS lebih sempit dibanding Indeks KUB. Sampel diambil dengan teknik acak kelompok (cluster random sampling) dari kantong-kantong umat beragama mayoritas. Tingkat kesalehan dimaknai sebagai sikap "saleh" menurut ajaran agama-agama di Indonesia. Kemudian diaplikasikan mengukur mereka yang "dekat" dengan aktivitas di rumah ibadah. Artinya, populasi penelitian adalah masyarakat jemaah aktif mengikuti kegiatan rumah ibadat pada setiap agama, baik aktif mengikuti pembinaan rohani maupun ibadah ritual.

Seperti halnya IKS, Renstra Kemenag juga memuat Indeks Penerimaan Umat Beragama atas Keragaman Budaya (IPUBKB). Indeks ini, ditetapkan memiliki kedudukan sejajar dengan Indeks KUB dan Indeks IKS. Ditargetkan IPUBKB mencapai angka 76.00 di tahun 2024. Survei IPUBKB tahun 2023 telah menunjukkan angka 83,6. Angka tersebut terdiri dari tiga indikator, yakni menguasai bahasa daerah/etnis sendiri (90,1), adaptif terhadap budaya lokal (83,4), serta akomodatif terhadap tradisi dan budaya lokal lainnya (80,4).

Seiring berkembangnya kebijakan, Kemenag juga mengukur Religiusity Index (Relix). Seakan ingin mengkompilasi semua indeksasi yang ada, variabel indeks ini beririsan tebal dengan variabel Indeks KUB dan IKS. Bahkan untuk konteks kesalehan dalam Relix terbagi menjadi dua, yakni kesalehan individu dan kesalehan sosial. Selain itu, Relix mengukur komitmen kebangsaan yang merupakan indikator moderasi beragama. Penarikan sampel dilakukan dengan acak bertingkat seperti halnya Indeks KUB.

Hadirnya Perpres 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama, tidak menutup kemungkinan Kemenag akan mengukur Indeks Moderasi Beragama (IMB). Sebagaimana tertuang dalam Perpres tersebut, moderasi beragama memiliki empat indikator, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, serta penghormatan budaya dan tradisi lokal.

Menariknya jika kita cermati laporan Indeks KUB Tahun 2022, sudah mengukur IMB sebesar 80.36. Angka tersebut mencakup indikator Komitmen Kebangsaan 84,74, Toleransi 70,39, Anti Kekerasan 85,08, dan Adaptif terhadap Budaya Lokal 81,24.

Melihat dinamika kehidupan keberagamaan di Indonesia dan seiring perkembangan kebijakan Kemenag, tidak menutup kemungkinan pada tahapan berikutnya muncul pengukuran indeks serupa yang menyasar masyarakat umat beragama secara umum sebagai responden. Karena itu perlu langkah konkret perbaikan tata kelola survei. Rasanya tidak mungkin habiskan sumberdaya melakukan hal serupa secara berulang-ulang.

Model Bisnis Indikator Kinerja Utama

Seandainya Indikator Kinerja Utama (IKU) diukur melalui indeks berdasarkan kelompok sasaran, maka secara umum indeksasi tersebut dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaklni indeks keberagamaan dan indeks pelayanan.

Indeks Keberagamaan - mengukur berbagai aspek keberagamaan yang secara alami tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dalam hal ini Kemenag tidak melakukan intervensi secara langsung terhadap tumbuh kembang cara pandang, pemahanan, perilaku atau tradisi keberagamaan di masyarakat.

Indeks Pelayanan - mengukur aspek kepuasan pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat dalam lingkup tertentu. Sebut saja layanan nikah, haji, sertifikasi halal, atau pendidikan agama. Untuk hal ini, Kemenag sebagai pihak berwenang penuh memberikan layanan kepada masyarakat. Artinya pelayanan keagamaan sangat tergantung dengan kehadiran pelaksanaan tugas dan fungsi.

Integrasi Survei

Semangat Survei Keberagamaan Masyarakat Indonesia (SKMI) adalah integrasi. Di tengah semangat membangun Satu Data Kementerian Agama, sudah semestinya pelaksanaan kegiatan statistik pun perlu diintegrasikan. Integrasi terhadap kegiatan statistik dengan kesamaan model bisnis, kesamaan aspek dan dimensi yang diukur. Harapannya memberikan manfaat optimal dan dampak maksimal.

Dalam banyak perbincangan membangun satu data, setidaknya ada tiga isu sering dibahas jadi perhatian semua pihak. Ketiga isu tersebut adalah keberadaan silo data tersebar, akses, dan standar data. Ketiga faktor tersebut ibarat penyakit berkelindan, saling jadi sebab akibat. Harus segera diobati agar tidak menjalar. Hadirnya data berkualitas menjadi syarat membangun budaya digital.

Silo muncul lantaran banyaknya aktivitas kegiatan statistik dari unit untuk menghasilkan data sesuai tugasnya. Tingginya ego sektoral jadi penyebab maraknya silo berjamur. Tentu tidak bisa disalahkan sepihak. Mereka melakukan itu lantaran tuntutan pemenuhan data dalam tugas. Minimnya ketersediaan data dukung atau sulitnya akses data, membuat fenomena itu tumbuh berkembang.

Berlanjut dengan sulitnya akses terhadap data. Hal ini terjadi lantaran minimnya serta ruwetnya prosedur. Tumbuhnya silo pengumpulan data biasanya dibarengi pengembangan aplikasi. Di balik pengelolaan aplikasi, ada operator yang memegang teguh. Sulitnya akses data juga sering dibatasi oleh kapasitas sang operator. Mereka merasa sebagai 'penguasa aplikasi' sehingga enggan berbagi data. Ironinya, aplikasi dan data relatif menjadi bangkai tidak terurus manakala ‘penguasa aplikasi’ tersebut mutasi.

Data tidak terstandar berdampak rumitnya proses penyelerasan. Saat data sudah diperoleh, mengkompilasi menjadi persoalan sendiri. Data yang dibangun tanpa bersandar standar, pasti cukup merepotkan untuk diintegrasikan. Terlebih bila tidak bersandar pada kode referensi terstandar, bisa dipastikan tidak bisa diintegrasikan secara langsung. Kurangnya pemahaman perancang database terhadap kode referensi, membuat mereka gunakan insting sendiri.

Karena itu, wajar untuk membangun satu data, data harus mengikuti sejumlah prinsip: terstandar, memiliki metadata, memenuhi kaidah interoperabilitas, dan memakai kode referensi dan berbasis data induk.

Kembali ke kegiatan statistik survei yang dibahas sebelumnya. Jika diperhatikan lima indeks di atas: Indeks KUB, IKS, Relix, IPUBKB, dan IMB, saling kelindan memiliki kesamaan karakteristik. Semuanya berangkat dari titik sama, mengukur aspek keberagamaan masyarakat yang berkembang secara alami. Pemahaman dan berkeyakinan beragama yang kemudian membentuk sikap dan praktik sosial di masyarakat. Dari sikap dan praktik inilah kemudian mewarnai suasana pembangunan agama di Indonesia.

Konteks integrasi survei adalah melaksanakan satu survei yang lebih komprehensif dari survei dengan model dan proses bisnis serupa. Dibanding melakukan banyak survei secara parsial, menurut pendapat penulis, integrasi akan jauh lebih efisien dalam banyak hal. Penyusunan instrumen, metodologi, tenaga, waktu, dan anggaran adalah beberapa komponen berdampak langsung dengan adanya integrasi tersebut.

Saat menyusun instrumen, perhatian lebih fokus pada satu instrumen komprehensif.
Kompilasi instrumen dapat mengakomodir berbagai indeks yang dituangkan menjadi variabel penyusun. Dimensi, indikator dan variabel disusun secara lebih efektif dengan kaidah dan pijakan akademik kuat. Setiap variabel dilengkapi metadata bersandar ketentuan kode referesnsi data baku. Relasi antar variabel terdokumentasi secara baik. Hal tersebut penting tatkala dilakukan analisis lintas indikator. Tatkala ingin dapatkan ukuran aspek tertentu, tinggal ambil variabel relevan, olah data sesuai kaidah-kaidah statistik untuk disajikan dalam bentuk indeks atau skor lainnya.

Dari sisi metodologi, apapun jenis metodologi yang digunakan akan lebih mudah dievaluasi tatkala ada persoalan atau perlu dikoreksi. Mitigasi lebih mudah disusun dan diterapkan. Penarikan sampel bisa dioptimalkan dengan cakupan lebih luas serta untuk menggambarkan populasi lebih baik.

Secara tenaga jauh lebih hemat. Penyiapan enumerator akan lebih terukur melalui proses rekruitmen, pelatihan, serta pengambilan data di lapangan hingga evaluasi kinerja. Seorang enumerator dapat diberdayakan jangka panjang pada survei-survei internal Kemenag. Mereka pun bisa berdaya saing mengambil kesempatan sebagai enumerator dari lembaga survei eksternal.

Bagaimana pun kapasitas dan integritas enumerator adalah kunci kualitas data untuk mengukur indeks. Banyak kasus menunjukkan, enumator berintegritas rendah berpotensi tinggi melakukan cheating data karena berbagai alasan. Misalnya responden tidak bisa diakses karena lokasi jauh, responden tidak tersedia data, atau kehabisan waktu pengambilan data.

Bila seluruh survei tersebut dapat diintegrasikan, penggunaan anggaran dapat dioptimalkan. Pengeluaran dapat lebih dikontrol, dalam arti pos belanja terukur pada aktivitas pendukung survei. Seluruh proses sejak perencanaan hingga pengolahan cukup dilakukan sekali. Sekali lagi dengan skala lebih besar, cukup satu survei komprehensif mencakup semua parameter yang hendak diukur.

Keterbatasan anggaran lumrah jadi tantangan umum pada survei nasional. Dari kondisi tersebut berdampak kepatuhan terhadap matodologi secara penuh. Ada saja kaidah statistik tidak terpenuhi lantaran anggaran terbatas. Prinsip ekonomis dengan paradigma “yang penting kegiatan berjalan” demi terpenuhinya indikator kinerja. Hal ini pun jadi penyebab terabaikan kualitas. Padahal untuk mendapatkan kualitas survei terbaik, ketersediaan anggaran tidak dapat diabaikan.

Pelaksanaan survei komprehensif seperti SKMI membutuhkan waktu relatif panjang. Tapi penggunaan akan lebih efektif. Persiapan dikarenakan banyak aspek diperhatikan akan menyita banyak waktu. Persiapan memastikan konsep, metodologi, kerangka sampel, variabel instrumen, dan teknik komputasi, tertuang secara apik dalam dokumen operasional. Persiapan memang memakan waktu. Bisa dua atau tiga tahun. Namun setelah semua persiapan tuntas, pelaksanaan akan cenderung lebih mudah.

Banyaknya variabel relatif berkorelasi positif terhadap gambaran umum yang ingin diperoleh. Parameter lebih banyak. Meski tidak melulu demikian. Adakalanya satu variabel telah tergambar oleh variabel lainnya. Karena itu penting menimbang secara cermat setiap variabel dalam instrumen. Kuatnya interkorelasi antar variabel justru jadi beban analisis, membuat gambar tidak semakin jelas.

Secara analogi, hasil survei diandaikan basis data menghimpun banyak variabel. Seperti masuk sebuah supermarket. Di sana tersaji berbagai macam bahan. Tatkala kita ingin membuat nasi goreng tentu kita cukup membeli bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Beda halnya untuk membuat kue, tentu bahan dibeli sesuai dengan menu yang dibutuhkan.

Cukuplah satu dapur, yang sanggup memasak dan menyajikan berbagai jenis makanan. Saat pengguna datang, dapat memesan berbagai makanan di menu. Juru masak di dapur mengambil bahan untuk diolah dan disajikan. Penyajian hasil survei dapat berbentuk indeks atau nilai lainnya. Produk harus tetap mengikuti kaidah-kaidah statistik.

Tidak mudah wujudkan satu data. Transformasi kelembagaan, tugas dan fungsi yang saat ini tengah digadang, mestinya bisa dijadikan sebagai momentum menggeser ego ke eco. Membangun ekosistem agar para pelaku pengambil kebijakan saling sinergi tanpa ada persaingan show off antar mereka. Semua berbagi peran, curahnya sumberdaya ciptakan budaya organisasi di atas tujuan besar bagi Kemenag dalam menghasilkan kebijakan lebih berdampak.

Akhirnya, semua kita kembalikan pada dokumen rencana strategis sebagai pijakan pelaksanaan kebijakan. Kemudian, kesadaran para pihak, para pemimpin, para pengambil kebijakan, para pelaksana kebijakan membuka diri mendukung terwujudnya Satu Data Kementerian Agama.

Rosidin (Statistisi Ahli Madya Kementerian Agama)

Referensi:
1. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.
2. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.
3. Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.
4. Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Stategis Kementerian Agama Tahun 2020-2024.
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 1364 Tahun 2021 tentang Peta Proses Bisnis Kementerian Agama.
6. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2023 tentang Satu Data Kementerian Agama.
7. Hasil Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama Tahun 2022 – Badan Litbang dan Diklat.
8. Hasil Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama Tahun 2023 – Badan Litbang dan Diklat.
9. Hasil Survei Religiusity Index Tahun 2023 - Badan Litbang dan Diklat.
10. Hasil Survei Indeks Kesalehan Sosial Tahun 2022 - Badan Litbang dan Diklat.
11. Hasil Survei Penerimaan Umat Beragama terhadap Keragaman Budaya Tahun 2023 - Badan Litbang dan Diklat.
---


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua